Sabtu, 29 Oktober 2016

PENGERTIAN, MACAM-MACAM DAN PERIODE TASYRI'



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebelum membahas lebih jauh tentang periode Tasyri’, terlebih dahulu pemakalah akan menjelaskan pengertian dari fiqh itu sendiri. Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah.[1]
Menurut para ahli, syariah secara terminologi adalah segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlak. Dengan demikian, syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah.
Adapun fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam yang membutuhkan pengarahan potensi akal. Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syar’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syariah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (Mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
Menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum Syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.[2]

Yang namanya fiqh tentu tidak terlepas dari yang namanya ushul fiqh. Karena ushul fiqh merupakan dasar dari adanya fiqh. Kata Ushul merupakan jamak dari kata ashal secara etimologi berarti “sesuatu yang dasar bagi yang lainya”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ushul fiqh itu adalah ilmu yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci. Dalam arti sederhananya ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya.[3]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Tasyri’ ?
2.      Apa saja macam-macam Tasyri ?
3.      Apa saja periode-periode Tasyri’ ?








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasyri’
Tasyri’ menurut istilah syara’ dan qanun berarti upaya penyusunan undang-undang dan hukum Islam sebagai pedoman bagi masyarakat dan umat Islam.
Apabila sumber tasyri’ berasal dari Allah dengan perantara Rasul beserta kitab-kitab-Nya, maka dinamakan al-tasyri’ al-ilahi, jika sumbernya berasal dari manusia, baik secara individual maupun bersama-sama, maka dinamakan al-tasyri’ al-wadh’i. Yang dimaksud al-tasyri’ al-Islami disini adalah pembuatan perundang-undangan yang meliputi dua hal tersebut di atas. Pada pembahasan kali ini al-tasyri’ al-Islami di bagi menjadi  empat periode.[4]

B.     Macam-Macam Tasyri’
1.      Al-Tasyri’ dari sudut sumber, dibatasi pada tasyri’ yang dibentuk pada zaman Nabi Muhammad saw. Yaitu al-Quran dan Sunnah.
2.      Al-Tasyri’ dari sudut keluasan dan kandungan, mencakup ijtihad sahabat, tabi’in dan ulama sesudahnya.[5]

C.    Periode Tasyri’
1.      Periode Rasul
Periode Tasyri’ Islam, atau sejarah fiqh Islam, pada hakikatnya tumbuh dan berkembang di masa Nabi sendiri, karena Nabi-lah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi.[6]
Dan yang dimaksud masa kenabian yaitu masa dimana hidup Nabi Muhammad saw. Dan para sahabat yang bermula dari diturunkanya wahyu sampai berakhir dengan wafatnya Nabi pada tahun 11 H. Era ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan fiqh Islam, suatu masa dimana turunya syariat Islam dalam pengertian yang sebenarnya.
Pada masa Rasulullah adalah masa fiqh Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah Al-Quran (wahyu Ilahi yang diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia). Tentang sunnah Rasul adalah berdasarkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau. Demikian juga tindakan Nabi saw. Selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi, semua hukum dan keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Masa ini walaupun berusia tidak panjang, namun masa inilah yang meninggalkan bekasan-bekasan dan kesan-kesan serta pengaruh yang penting bagi perkembangan hukum Islam dan masa yang kulli yang bersifat keseluruhan dan dasar-dasar umum yang universal untuk dasar penetapan hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nashnya.[7]
Periode Rasul berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan, akan tetapi membawa pengaruh besar dan hasil yang gemilang, karena telah meninggalkan nash hukum di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Periode ini meninggalkan dasar-dasar tasyri’ yang sempurna.
Selanjutnya suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunya ayat-ayat al-Quran yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan dan pengakuanya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada al-Quran itu dapat disebut fiqh.[8]
Periode Rasul terdiri dari dua fase yang berlainan, yaitu:
a.       Fase Rasul berada di Mekkah, yakni selama 12 tahun beberapa bulan semenjak beliau dibangkitkan sebagai Rasul sampai waktu hijrahnya. Pada fase ini umat Islam jumlahnya masih sedikit dan posisinya masih lemah, belum menyatu sebagai satu umat dan belum mempunyai pemerintahan. Perhatian Rasul pada fase ini diarahkan pada penyebaran dakwah ketauhidan. Rasul berusaha memalingkan umat manusia dari penyembah berhala dan patung, menjaga diri dari orang-orang yang sengaja menghalangi dakwah, yakni oang-orang yang menzalimi orang-orang beriman.
b.      Fase Rasul berada di Madinah, Yakni selama kira-kira 10 tahun berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya. Pada masa ini Islam telah terbina menjadi umat, dan telah membentuk pemerintah, media-media dakwah telah berjalan lancar. Keadaan mendesak diberlakukanya tasyri’ dan undang-undang, guna mengatur hubungan antara individu satu dengan yang lain, baik masa damai maupun dimasa perang.[9]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam periode Mekkah hampir tidak didapatkan indikasi yang berarti, karena masa ini merupakan masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam Ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa Madinah dimana ayat-ayat tentang hukum dan pranata sosila mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat lebih jelas.[10]
Sumber Tasyri’
Perundang-undangan dimasa Rasulullah bersumber dari dua hal, yaitu Ilahi dan Ijtihad Rasulullah sendiri. Apabila muncul permasalahan yang menghendaki peraturan seperti perselisihan, peristiwa hukum, pernyataan, atau permintaan fatwa, maka Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya satu atau beberapa ayat yang memuat hukum yang dikehendaki. Kemudian Rasul menyampaikan wahyu yang lantas menjadi undang-undang yang wajib diikuti itu, kepada umat Islam.[11]
Peristiwa yang disyari’atkan kepada periode Rasul bersumber dari wahyu Ilahi dan Ijtihad Nabi, dan munculnya berdasarkan masalah dan peristiwa yang menurut respons hukum. Tugas Rasul atas syari’at yang pertama (al-Quran) adalah terbatas pada tabligh (menyampaikan) dan tabyin (menjelaskan).
Apa yang timbul dari sumber kedua yaitu ijtihad Nabi, kadang merupakan pengungkapan terhadap Ilham Ilahi, artinya ketika Rasul melakukan ijtihadnya, Allah mengilhami Nabi soal hukum berbagai hal yang perlu diketahui. Kadang merupakan Istimbath dan istindad bagi hukum yang menunjukkan kemaslahatan, serta ruh perundang-undangan yang bersifat ijtihad yang diilhamkan Allah kepada Rasul. Hal ini merupakan hukum-hukum ilahiah yang diungkapkan dengan sabda atau perbuatan beliau.[12]

2.      Periode Sahabat
Periode sahabat dimulai dari wafatnya Rasulullah saw. Pada 11 hijriah, dan diakhiri pada akhir abad pertama hijriyi tasyri’iyi (kekuatan perundang-undangan berada ditangan para pemuka sahabat Rasul). Diantara mereka ada yang hidup sampai puluhan tahun berakhir dari abad pertama hijriyah. Contohnya Anas bin Ibn Malik yang wafat pada 93 H.
Dari para sahabat banyak keluar fatwa hukum mengenai kejadian yang tidak ada nashnya, dan dapat dipandang sebagai dasar dalam berijtihad dan beristimbath.[13]
Pada masa ini kajian fiqh mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah saw. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah saw. Semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada beliau. Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuk yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan hukum ialah menelusuri ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang masalah tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam al-Quran maka mereka mencari di dalam sunnah. Apabila di dalam sunnah pun tidak ditemukan barulah mereka berijtihad.[14]

3.      Periode Tadwin
Periode tadwin atau pembukaan, dimulai pada permulaan abad kedua hijr dan berakhir pada pertengahan abad keempat hijr, yaitu selama kurang lebih 250 tahun. Disebut periode Tadwin dan Imam Mujtahid, karena usaha penulisan dan pembukuan khazanah Teks Islam maju dengan pesat. Yang dibukukan antara lain adalah Al-Sunnah, Fatwa para Mufti dari sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in, pembahasan secara luas tentang tafsir Al-Quran, fiqh Imam Mujtahid, dan risalah dalam ilmu Ushul Fiqh.
Periode Tadwin adalah periode keemasan (al-ahdudz al dzahabi) bagi perundang-undangan Islam. Hukum Islam tumbuh dan menjadi masak, serta membuahkan perbendaharaan hukum Pemerintahan Islam kaya dengan  berbagai undang-undang dan hukum yang meliputi bermacam-macam urusan dan beraneka ragam kemaslahatan, yang menjangkau wilayah yang cukup luas.[15]
Sumber perundang-undangan pada periode Tadwin ada empat yaitu Al-Quran, Al-Sunnah, Al-Ijma dan Al-Ijtihad dengan jalan qiyas atau dengan salah satu jalan istimbath.

4.      Periode Taqlid
Pada periode Taqlid, para ulama telah lemah semangat ijtihadnya. Artinya, lemahlah semangat asasi guna menggali hukum dari nash Al-Quran dan As-Sunnah. Lemah juga semangat untuk meng-istimbath-kan hukum yang tidak ada nashnya, dengan salah satu dalil syar’i. Para ulama pada periode Taqlid, telah terbiasa mengikuti hukum yang telah ditetapkan para imam mujtahid masa lampau.
Periode Taqlid dimulai sejak pertengahan abad keempat hijri, bersamaan dengan munculnya berbagai faktor yang menimpa umat Islam, baik faktor politik, rasio, moral, dan sosial. Faktor-faktor tersebut telah mempengaruhi prinsip umat Islam di bidang perundang-undangan hukum, dari yang semula dinamis menjadi beku. Ijtihad dan usaha penyusunan (kembali) undang-undang pun berhenti. Matilah kemerdekaan berfikir di kalangan para ulama.[16]








[1]Amir Syaifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana Perdana Media Group: 2011), h. 1.
[2]Ibid., h. 3.
[3]Ibid., h. 41.
[4]Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Marja: 2005), h. 9.
[6]Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hal. 31.
[7]Ibid.,  h. 32-33.
[8]Muhammad Yusuf, dkk, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga: 2005), h. 26.
[9]Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., h. 11-12.
[10]Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, (Yogyakarta, Beranda Publishing: 2012), h. 31.
[11]Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., h. 15.
[12]Abdul Wahhab Khallaf, Ibid., 17.
[13]Abdul Wahhab Khallaf, h. 31.
[14]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH: 2011), h. 20-23.
[15]Abdul Whhab Khallaf, Op. Cit., h. 58-59
[16]Abdul Wahhab Khallaf, Ibid., h. 91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar