Sabtu, 29 Oktober 2016

HADIAH, WASIAT, DAN HIBAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Anjuran agama Islam adalah tolong-menolong antara sesama muslim ataupun non muslim. Bentuk tolong-menolong itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya. Salah satu di antaranya adalah wasiat (suatu hasrat atau keinginan yang dizahirkan secara lisan atau bertulis oleh seseorang mengenai hartanya untuk diuruskan selepas berlaku kematiannya) dan hibah, atau disebut juga pemberian cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan
Islam adalah agama yang dirihoi oleh Allah SWT. dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Karena itu tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan dalam agama Islam yang mulia ini sebagai bukti bahwa Islam benar-benar rahmatan lil’alamin.
Rasulullah SAW. juga menganjurkan kepada kita untuk saling memberi hadiah, wasiat, dan hibah  satu sama lainnya, karena dengan memberi semua itu maka akan saling mencintai dan menyayangi dengan sesamanya dan bisa bemanfaat untuk keluarga.
Banyak sekali istilah yang digunakan ketika seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain, separti hibah, hadiah, sedekah, kado, wakaf, wasiat atau yang lainnya sesuai dengan kondisi, situasi, momen dan evennya.
Dalam makalah ini kami akan menguraikan tentang permasalahan hadiah, wasiat, dan hibah, yang termasuk bagian dari perkara penting dalam urusan fiqih muamalah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu hadiah ?
2.      Apa itu wasiat ?
3.      Apa itu Hibah ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    HADIAH
1.      Pengertian Hadiah
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW. menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat memumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antar sesama muslim. Rasulullah SAW. bersabda : artinya “hendaknya kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi.” (HR. Abu Ya’la)
2.      Hukum Hadiah
Hukum hadiah adalah boleh (mubah). Adapun tentang dibolehkan untuk memberikan hadiah terdapat keterangan yang menjadi dasar hukum hadiah tersebut.
3.      Dasar Hukum Hadiah
a.      Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2 :
....وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى.... (الماءدة : ٢)
Artinya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa,...” (QS. Al-Maidah : 2)
b.      Hadits
Nabi SAW. sendiri pun juga sering menerima dan memberi hadiah kepada sesama muslim, sebagaimana sabdanya:
عنْعَائِشَةَرَضِيَاللَّهُعَنْهَاقَالَتْكَانَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَقْبَلُالْهَدِيَّةَوَيُثِيبُعَلَيْهَ
Artinya :
“Rasulullah SAW. menerima hadiah dan beliau selalu membalasnya.” (HR. Al-Bazzar)
Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “janganlah menganggap remeh pemberian seorang tetangga, walaupun hanya berupa kaki kambing. ( H.R. al-Bukhari: 2378 dan Muslim: 1711)[1]
4.      Rukun Hadiah
Rukun hadiah dan rukun hibah sebenarnya sama, yaitu :
a.       Orang yang memberi, syaratnya orang yang memberi benda itu dan yang berhak mentasyarrufkannya.
b.      Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki.
c.       Barang yang diberikan, syaratnya barang dapat dijual.
d.      Ijab qabul.

B.     WASIAT
1.      Pengertian Wasiat
Wasiat atau testament ialah suatu pernyataan yang berisikan tentang kehendak terakhir seseorang setelah ia meninggal dunia. Sedangkan pengertian wasiat menurut Pasal 875 BW adalah suatu akta yang isinya tentang pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi setelah meninggal  [2]
Karena keterangan dalam  testament adalah suatu pernyataan yang keluar dari sepihak saja maka testament setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Suatu wasiat atau testament mengandung juga suatu syarat atau pembatasan, yaitu isi pernyataan itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang. Pembatasan yang penting yaitu tentang pasal-pasal tentang legitieme portie , yaitu bagian warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak para ahliwaris dalam garis lencang dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan [3]
dunia, dan dapat ditarik kembali olehnya1Wasiat tersebut disyari’atkan Allah dalam rangka membina kekuatan ekonomi keluarga yang mungkin tidak terjangkau oleh norma kewarisan. Dengan adanya norma wasiat, semua yang berhak atas harta yang akan ditinggalkan seseorang, terjangkau semuanya sehingga tidak akan ada yang terabaikan, dan kehidupan keluarga serta yang ditinggalkannya itu tetap dalam keadaan baik.
Wasiat tersebut disyari’atkan dalam Islam menyertai norma pembagian harta waris, karena akibat ketatnya sistem pembagian warits, seseorang yang semula akan memperolah hak warits, bisa terhalang oleh warits yang lain, padahal secara ril dia atau mereka jauh lebuh layak dan mesti menerima pembagian warits tersebut. Seperti, seorang anak yatim ditinggal mati ayahnya, sebelum kakeknya meninggal.

2.      Hukum Wasiat
Hukum wasiat adalah sunat. Akan tetapi, ada pula para ulama yang berbeda pendapat tentang hukum wasiat tersebut. Ibnu Hazm al-Andalusia berpendapat bahwa wasiat itu wajib bagi setiap yang akan meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan, baik sedikit atau banyak. Sementara itu, para ulama fiqh dari empat mazhab fiqh berpendapat bahwa kedudukan hukum wasiat tergantung pada keadaan, adakalanya wajib, nadb, haram, makruh, dan adakalanya juga ibadah.
Menurut Sayyid Sabiq hukum wasiat ada beberapa macam, yaitu :
a.      Wajib
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila ia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahuai selain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
b.      Sunnah
Wasiat itu disunnahkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang shaleh.
c.        Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli warits. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli warits seperti ini adalah batil sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja atau tempat hiburan.
d.      Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu didalam kefasikan dan kerusakan.
e.       Jaiz
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang kaya, baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat).

3.      Dasar Hukum Wasiat
a.      Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah ayat 180 :
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠ 
Artinya :
“Diwajibkan pada kalian semua, apabila kematian telah tiba, (dan meninggalkan harta yang cukup), untuk menyampaikan pesan wasiat kepada kedua orang tua, dan kerabat dekat dengan baik dan bijaksana. Semua itu merupakan hak bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 180)
b.      Hadits
Adapun hadits tentang wasiat ini, dalam kitab Bulughul Maram dijelaskan bahwasanya :
َوَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Artinya :
Abu Umamah Al-Bahily ra. Berkata : aku mendengar Rasulullah bersabda: “sesungguhnya allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits hasan menurut Ahmad dan Tirmidzi, dandikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud).
c.       Ijma
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syari’at Allah dan Rasul-Nya. Ijma didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits.

4.      Rukun dan Syarat Wasiat
a.      Rukun Wasiat
1.  Ada orang yang bewasiat, hendakklah bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebakan serta  kehendaknya sendiri.
2.   Ada yang menerima wasiat (mausilah). Keadaannya hendaklah dengan jalan yang bukann maksiat, baik pada kemaslahatan umum, seperti membangun mesjid, sekolah, atau lail-lainnya. Tetapi kalau kepada yang tertentu, hendaklah ditambah syarat yang bersifat seseorang yang boleh memiliki.
3.   Sesuatu yang dimaksiatkan,disyaratkan dapat berpindah mlik dari seorang kepada orang lain.
4.   Lafaz (kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.[4]
b.      Syarat Wasiat
1)      Syarat orang yang berwasiat
Adapun syarat dari orang yang berwasiat, ialah :
a)      Baligh
b)      Berakal sehat
c)      Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun.
Menurut Sayyid Sabiq disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan. Yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.
2)      Syarat orang yang menerima wasiat
a)      Bukan ahli waris dari orang yang berwasiat
b)      Orang yang diberikan wasiat disyaratkan ada dan benar-benar ada disaat wasiat dilaksanakan baik ada secara hayat maupun secara pemikiran, seperti berwasiat kepada anak dalam kandungan, maka kandungan itu harus ada diwaktu wasiat diterima.
c)      Orang yang diberi wasiat bukanlah orang yang membunuh orang yang memberi wasiat.
d)     Tidak menolak pemberian wasiat
Tetapi kalau ia merasa kurang cukup mempunyai sifat-sifat itu, atau kurang kemauan dan kesanggupan untuk menjalankan tanggung jawab yag begitu berat, lebih baik tidak diterimanya agar dapat diserahkan kepada orang lain sehingga pekerjaan tidak sia-sia.[5]
3)      Syarat benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah benda-benda atau manfaat yang bisa dimiliki dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia secara positif.
Adapun syarat benda yang diwasiatkan tersebut ialah sebagai berikut :
a)         Jumlah wasiat tidak lebih dari 1/3 dari harta yang ditinggalkan, karena kalu melebihi dari batas tersebut akan membawa madharat bagi ahli waris sendiri, sebagaimana ditegaskan Rasulullah dalam salah satu hadits yang berbunyi :
عَنْ سَعْدِ بْنِ اَبِيْ وَقَاصٍ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ النَّبِىُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُوْدُنِيْ وَاَنَا بِمَكَّةَ وَكُلْتُ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللّهِ اُوْصِى بِمَالِى كُلِّهِ قَالَ لاَ قُلْتُ فَالشَّطْرُ قَالَ لاَ قُلْتُ اَلثُّلُثُ قَالَ فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ اِنْ تَدَعْ وَرَثَتَكَ  اَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ اَنْ تَدَعْهُمْ عَالَةً يَتَكَنَّفُوْنَ  النَّاسَ فِيْ اَيْدِيْهِمْ . رواه البخاري و مسلم ] ]
Artinya :
“Dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. kembali ke Mekah dan aku berada di sana, kemudian aku bertanya : ‘Wahai Rasulullah, bolehkah saya berwasiat dengan seluruh hartaku ?’. Beliau menjawab: ‘Tidak’. Lalu saya bertanya kembali: ‘Bagaimana kalau separuhnya ?’. Beliau menjawab: ‘Tidak’. Lalu saya bertanya lagi: ‘Bagaimana kalau sepertiganya’. Beliau menjawab: ‘Sepertiga itu sudah cukup banyak. Jika engkau meninggal ahli warismu kaya, itu akan lebih baik daripada meninggalkannya dalam keadaan fakir dan miskin, dan meminta-minta pada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
b)         Dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain
c)         Harus ada ketika wasiat diucapkan
d)        Harus dapat memberi manfaat
e)         Tidak bertentangan dengan hukum syara’.
Menurut pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris (ayat 2). Menurut Amir Syarifuddin, harta yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi sepertiga harta yang dimiliki oleh pewasiat.
Menurut pasal 195 ayat 2 bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. Pernyataan persetujuan dibuat lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris. Pasal 195 ayat 4 menerangkan apabila wasiat melebihi sepertiga harta warisan sedangkan ahli waris yang lain tidak menyetujui maka wasiatnya hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.
4)      Syarat-syarat shighat
a)      Kalimat dapat dimengerti maupun dipahami baik dengan lisan maupun tulisan.
b)      Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

5.      Permasalahan Tentang Wasiat
a.      Yang tidak boleh menerima wasiat
Orang yang boleh menerima wasiat adalah orang-orang yang tidak menjadi ahli waris. Jadi, intinya orang yang telah menjadi ahli waris tidak berhak untuk menerima wasiat karena wasiat itu hanya diperuntukkan kepada selain orang yang menjadi ahli waris.
b.      Batalnya wasiat
Dari beberapa hal yang mengakibatkan batalnya wasiat ada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)         Wasiat tidak mengikat kecuali apabila orang yang berwasiat tersebut telah meninggal dan tetap dalam wasiatnya. Orang yang berwasiat dapat menarik kembali wasiatnya sebelum meninggal. Bila si pemberi wasiat ini menariknya, maka wasiat menjadi batal.
2)         Gila dan rusak akal menghilangkan kecakapan seseorang melakukan tindakan hukum. Wasiat yang pernah dibuat oleh orang yang berwasiat dan kemudian orang tersebut tertimpa penyakit gila, wasiatnya menjadi batal.
3)         Bila orang yang berwasiat pada saat hidupnya meninggalkan hutang, maka pelaksanaan wasiat dilakukan setelah pembayaran hutang. Apabila hutang yang harus dibayar akan menghabiskan seluruh harta kekayaannya maka wasiat yang pernah dibuat sebelumnya menjadi batal.
4)         Bila penerima wasiat meninggal terlebih dahulu dari orang yang memberi wasiat maka wasiat tersebut menjadi batal, karena tujuannya tidak ada lagi.
5)         Bila penerima wasiat membunuh si pemberi wasiat, maka wasiatnya batal.
6)         Penerima wasiat mempunyai hak untuk menolak wasiat agar jangan sampai keberatan dalam melaksanakan wasiat.
7)         Wasiat bisa batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Menurut Sayyid Sabiq wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat yang ada pada wasiat, misalnya sebagai berikut :
1)            Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang menyampaikannya pada kematian.
2)            Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberi wasiat itu mati.
3)            Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh yang diberi wasiat.
Dalam rumusan fikih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang itu diterima oleh orang yang menerima wasiat.
c.       Wasiat wajibah
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Orang-orang yang mendapatwasiat wajibah adalah cucu-cucu yang orang tuanya telah meninggal mendahului atau berbarengan dengan pewaris. Mereka hanya diberi wasiat wajibah sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak melebihi dari 1/3 peninggalan. Oleh karena besar kecilnya bagian orang tuanya itu tergantung dengan sedikit atau banyaknya saudara orang tuanya, maka ada kemungkinan bahwa bagian orang tuanya 1/5, ¼, 1/3 atau ½ peninggalannya, kelebihannya itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Walaupun cucu tersebut dapat menduduki kedudukan orang tuanya dalam memperoleh harta warisan, namun jumlah yang diterimanya itu bukan semata-mata berdasarkan mengkuasai (dengan fardh atau ushubah) tetapai berdasarkan wasiat wajibah. Oleh karena itu memberikan bagiannya harus didahulukan daripada memberikan bagian kepada ahli waris.
Dalam hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari pendappat-pendapat ulama salaf dan khalaf yang menurut Fathur Rahman adalah tergantung kewajiban berwasiat kepada kerabat, kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat para fuqaha dan tabi’in besar ahli fiqih dan ahli hadits.

C.        HIBAH
1.       Pengertian Hibah
Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu: “akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela”.[6] Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebuti’aarah (pinjaman).[7]
Pembarian tersebut dilakukan atas dasar kasih sayang serta dilatar belakangi oleh perasaan iba atau rasa kasihan untuk pengembangan ekonomi dari yang diberi pemberian hibah tersebut. Umpamanya hibah seorang ayah terhadap anaknya untuk pengembangan usaha kehidupan, atau hibah seorang kakek terhadap cucunya.

2.       Hukum Hibah
Hukum hibah adalah mubah (boleh). Adapun dengan hal ini, diperbolehkan memberikan sesuatu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT.
Pendapat lain Hukum hibah adalah sunah, yakni jika dikerjakan akan memperoleh pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa [8] Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi : “Tidak halal bagi seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah atau menarik kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya”.(HR.Abu Daud).[9]

3.      Dasar Hukum Hibah
a.      Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 177 :
وَاَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَاكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّآئِلِيْنَ. (البقرة :١٧٧)
Artinya :
“Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah : 177)
b.      Hadits
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. sebagai berikut :
مَنْ جَاءَهُ مِنْ أَخِيهِ مَعْرُوفٌ، مِنْ غَيْرِ إِشْرَافٍ وَلَا مَسْأَلَةٍ، فَلْيَقْبَلْهُ وَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ
Artinya :
“Dari Khalid bin ‘Adi sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda ‘Barangsiapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya’.” (HR. Ahmad)
4.      Rukun Hibah
Rukun hibah ada empat macam sebagai berikut :
 a.      Pemberi hibah
Syaratnya ialah :
1)      Orang yang berhak memperedarkan hartanya dan memiliki barang yang diberikan.
2)      Baligh, berakal, dan cerdas. Maka anak kecil, orang gila, dan yang menyia-nyiakan harta tidak sah memberikan harta benda mereka kepada yang lain, begitu juga wali terhadap harta benda yang diserahkan kepadanya.
3)      Tidak memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan/pemboros.
b.      Penerima hibah
Yakni ada yang diberi, syaratnya yaitu berhak memiliki. Tidak sah memberi kepada anak yang masih berada di dalam kandungan ibunya dan pada binatang, karena keduanya tidak dapat memiliki.
c.       Barang yang dihibahkan
Yakni ada barang yang diberikan, syaratnya hendaknya barang itu dapat dijual, kecuali :
1)      Barang-barang yang kecil. Misalnya dua atau tiga butir biji beras, tidak sah dijual, tetapi sah diberikan.
2)      Barang yang tidak diketahui tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
3)      Kulit bangkai sebelum disamak tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
d.      Penyerahan
Yakni adanya ijab dan kabul, misalnya orang yang memberi berkata, “Saya berikan ini kepada engkau.” Jawab yang diberi, “Saya terima.” Kecuali sesuatu yang menurut kebiasaan memang tidak perlu mengucapkan ijab dan kabul, misalnya seorang istri menghibahkan gilirannya kepada madunya, dan bapak memberikan pakaian kepada anaknya yang masih kecil. Tetapi apabila suami memberikan perhiasan kepada istrinya, tidaklah menjadi milik istrinya selain dengan ijab dan kabul. Perbedaan antara pemberian bapak kepada anak dengan pemberian suami kepada istri ialah: bapak adalah wali anaknya, sedangkan suami bukanlah wali terhadap istrinya. Pemberian pada waktu perayaan mengkhitan anak hendaklah dilakukan menurut adat yang berlaku di tiap-tiap tempat tentang perayaan itu.

5.      Ketentuan Hibah
Ketentuan hibah antara lain adalah sebagai berikut :
a.       Hibah dapat dianggap sah apabila pemberian itu sudah mengalami proses serah terima. Jika hibah itu baru diucapkan dan belum terjadi serah terima maka yang demikian itu belum termasuk hibah.
b.      Jika barang yang dihibahkan itu telah diterima maka yang menghibahkan tidak boleh meminta kembali kecuali orang yang memberi itu orangtuanya sendiri (ayah/ibu) kepada anaknya. Misalnya, hibah yang diberikan seorang ayah terhadap anaknya, yang dia lakukan untuk pembinaan dan pengembangan kehidupannya. Jika ayahnya itu melihat bahwa dengan hibah tersebut, anaknya justru menjadi lebih nakal dan semakin tidak teratur, maka dia boleh menarik kembali hibahnya itu. Selain hibah ayah terhadap anaknya itu, pemberi hibah tidak boleh menarik hibahnya kembali.
 Sebagaimana dikemukakan dalam salah satu hadits Nabi SAW. yang berbunyi :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ اَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً اَوْ يَهِبُ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا اِلاَّالْوَالِدَ فِيْمَا يُعْطِىْ وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِيْ يُعْطِى الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيْهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَاْكُلُ فَإِذَا شَبَعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِيْ قَيْءِهِ . (رواه ابو داود)
Artinya :
“Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, seseorang tidak boleh memberi sesuatu kemudian menarik kembali pemberiannya itu, kecuali pemberian ayah terhadap anaknya. Perumpamaan orang yang memberikan sesuatu kemudian menarik kembali pemberiannya itu, seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Abu Dawud)

6.      Syarat-syarat Barang yang Dihibahkan
Disyaratkan barang yang akan dihibahkan sebagai berikut :
a.       Harus ada waktu hibah
b.      Harus berupa harta yang bermanfaat
c.       Milik sendiri
d.      Barang yang dihibahkan telah diterima oleh penerima
e.       Penerima menerima hibah atas izin pemberi hibah
Adapun syarat-syarat bagi penghibah disyaratkan sebagai berikut :
a.       Penghibah memiliki apa yang dihibahkan
b.      Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan
c.       Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya
d.      Penghibah itu tidak dipaksa, sebab akad yang mensyaratkan
e.       Keridhaan dalam keabsahannya

7.      Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a.       Hibah barang, yaitu memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada harapan apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
b.      Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.

8.      Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
a.       Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
b.      Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
c.       Dapat mempererat tali silaturahmi
d.      Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka
Dan juga Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia.  Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial [10]


BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
  • Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW. menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah.
  • Wasiat adalah pemberian sesuatu kepada orang lain melalui pesan yang dinyatakan sebelum pemberinya meninggal, dan direalisasikan pesan pemberiannya itu sesudah pemberinya meninggal dunia.
  • Hibah adalah pemberian harta dari seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya, dan langsung pindah pemilikannya saat akad hibah dinyatakan.
B.                 Saran-saran



DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali. Hukum Wari. Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian.
Idris, Abdul Fatah dkk. 2004. Fikih Islam Lengkap. Jakarta. PT. Rineka Cipta.
Muhammad, Abu Bakar. Fiqih Islam-Terjemah Fat-hul Qarib. Karya Abditama. Surabaya.1995.
Qosim, M. Rizal. 2014. Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Rizal Qosim, M. 2014. Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah. Solo. PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Sabiq, Sayyid.1987. Fikih Sunnah 14. terj: Mudzakir. Bandung. PT. Al-Ma’arif.
Subekti , Pokok-pokok Hukum Perdata.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah.  Bandung. Pustaka Setia.
Zein, Satria Effendi M. MA. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer. Jakarta. Kencana.



[1] M. Rizal Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hlm. 147
[2] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian , hlm. 14.
[3] Subekti , Pokok-pokok Hukum Perdata , hlm. 107.
[4] H. Abu Bakar Muhammad, Fiqih Islam-Terjemah Fat-hul Qarib,Karya Abditama, Surabaya : 1995, Hlm 137
[5] H. Abu Bakar Muhammad, Fiqih Islam-Terjemah Fat-hul Qarib,Karya Abditama, Surabaya : 1995, Hlm 206
[6] Rachmat Syafei,  Fiqh Muamalah,  Bandung: Pustaka Setia, 2001,  hlm. 242
[7] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, Cet.  XX, hlm. 174
[8] M. Rizal Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hlm. 145
[9] Abdul Fatah Idris, dkk, Fikih Islam Lengkap, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, Cet.  III,  hlm. 197
[10] Satria Effendi M. Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. I, hlm. 471-472

Tidak ada komentar:

Posting Komentar