BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Anjuran agama Islam adalah tolong-menolong antara sesama
muslim ataupun non muslim. Bentuk tolong-menolong itu bermacam-macam, bisa
berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya. Salah satu di antaranya
adalah wasiat (suatu hasrat atau keinginan yang dizahirkan secara lisan atau
bertulis oleh seseorang mengenai hartanya untuk diuruskan selepas berlaku
kematiannya) dan hibah, atau disebut juga pemberian cuma-cuma tanpa
mengharapkan imbalan
Islam adalah agama yang dirihoi oleh Allah SWT. dan
sebagai rahmat bagi seluruh alam. Karena itu tolong menolong dalam kebaikan
yang diperintahkan dalam agama Islam yang mulia ini sebagai bukti bahwa Islam
benar-benar rahmatan lil’alamin.
Rasulullah SAW. juga menganjurkan kepada kita untuk
saling memberi hadiah, wasiat, dan hibah satu sama lainnya, karena dengan memberi semua
itu maka akan saling mencintai dan menyayangi dengan sesamanya dan bisa
bemanfaat untuk keluarga.
Banyak sekali istilah yang digunakan ketika seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain, separti hibah, hadiah, sedekah, kado,
wakaf, wasiat atau yang lainnya sesuai dengan kondisi, situasi, momen dan
evennya.
Dalam makalah ini kami akan menguraikan tentang
permasalahan hadiah, wasiat, dan hibah, yang termasuk bagian dari perkara
penting dalam urusan fiqih muamalah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu hadiah ?
2.
Apa itu wasiat ?
3. Apa itu Hibah ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
HADIAH
1.
Pengertian Hadiah
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan
maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW.
menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian
itu dapat memumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antar sesama muslim.
Rasulullah SAW. bersabda : artinya “hendaknya kalian saling memberikan hadiah,
niscaya kalian akan saling menyayangi.” (HR. Abu Ya’la)
2. Hukum Hadiah
Hukum hadiah adalah boleh
(mubah). Adapun tentang dibolehkan untuk memberikan hadiah terdapat keterangan
yang menjadi dasar hukum hadiah tersebut.
3. Dasar Hukum Hadiah
a.
Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2 :
....وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى.... (الماءدة : ٢)
Artinya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa,...” (QS. Al-Maidah : 2)
b.
Hadits
Nabi SAW. sendiri pun juga sering menerima dan memberi
hadiah kepada sesama muslim, sebagaimana sabdanya:
عنْعَائِشَةَرَضِيَاللَّهُعَنْهَاقَالَتْكَانَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَقْبَلُالْهَدِيَّةَوَيُثِيبُعَلَيْهَ
Artinya :
“Rasulullah SAW. menerima hadiah dan beliau selalu
membalasnya.” (HR. Al-Bazzar)
Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “janganlah
menganggap remeh pemberian seorang tetangga, walaupun hanya berupa kaki
kambing. ( H.R. al-Bukhari: 2378 dan Muslim: 1711)[1]
4. Rukun Hadiah
Rukun hadiah dan rukun hibah sebenarnya sama, yaitu :
a. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memberi benda itu dan yang berhak
mentasyarrufkannya.
b. Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki.
c. Barang yang diberikan, syaratnya barang dapat dijual.
d. Ijab qabul.
B.
WASIAT
1. Pengertian Wasiat
Wasiat atau testament ialah suatu pernyataan yang berisikan tentang kehendak
terakhir seseorang setelah ia meninggal dunia. Sedangkan pengertian wasiat
menurut Pasal 875 BW adalah suatu akta yang isinya tentang pernyataan seseorang
tentang apa yang terjadi setelah meninggal [2]
Karena keterangan dalam
testament adalah suatu pernyataan yang keluar dari sepihak saja maka
testament setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Suatu wasiat
atau testament mengandung juga suatu syarat atau pembatasan, yaitu isi
pernyataan itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang. Pembatasan yang
penting yaitu tentang pasal-pasal tentang legitieme portie , yaitu bagian
warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak para ahliwaris dalam garis lencang
dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan [3]
dunia, dan dapat ditarik kembali olehnya1Wasiat tersebut
disyari’atkan Allah dalam rangka membina kekuatan ekonomi keluarga yang mungkin
tidak terjangkau oleh norma kewarisan. Dengan adanya norma wasiat, semua yang
berhak atas harta yang akan ditinggalkan seseorang, terjangkau semuanya
sehingga tidak akan ada yang terabaikan, dan kehidupan keluarga serta yang
ditinggalkannya itu tetap dalam keadaan baik.
Wasiat tersebut disyari’atkan dalam Islam menyertai norma
pembagian harta waris, karena akibat ketatnya sistem pembagian warits,
seseorang yang semula akan memperolah hak warits, bisa terhalang oleh warits
yang lain, padahal secara ril dia atau mereka jauh lebuh layak dan mesti
menerima pembagian warits tersebut. Seperti, seorang anak yatim ditinggal mati
ayahnya, sebelum kakeknya meninggal.
2. Hukum Wasiat
Hukum wasiat adalah sunat. Akan tetapi, ada pula para
ulama yang berbeda pendapat tentang hukum wasiat tersebut. Ibnu Hazm
al-Andalusia berpendapat bahwa wasiat itu wajib bagi setiap yang akan meninggal
dunia dan meninggalkan harta peninggalan, baik sedikit atau banyak. Sementara
itu, para ulama fiqh dari empat mazhab fiqh berpendapat bahwa kedudukan hukum
wasiat tergantung pada keadaan, adakalanya wajib, nadb, haram, makruh, dan
adakalanya juga ibadah.
Menurut Sayyid Sabiq hukum wasiat ada beberapa macam, yaitu :
a.
Wajib
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai
kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila ia tidak berwasiat,
seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya
dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum
dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang
yang tidak diketahuai selain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
b.
Sunnah
Wasiat itu disunnahkan bila diperuntukkan bagi kebajikan,
karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang shaleh.
c.
Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli warits.
Wasiat yang maksudnya merugikan ahli warits seperti ini adalah batil sekalipun
wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar,
membangun gereja atau tempat hiburan.
d.
Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang fasik jika diketahui
atau diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu didalam kefasikan dan
kerusakan.
e.
Jaiz
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang kaya,
baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat).
3. Dasar Hukum Wasiat
a.
Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah ayat 180 :
كُتِبَ
عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ
لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ
١٨٠
Artinya :
“Diwajibkan pada kalian semua, apabila kematian telah tiba, (dan
meninggalkan harta yang cukup), untuk menyampaikan pesan wasiat kepada kedua
orang tua, dan kerabat dekat dengan baik dan bijaksana. Semua itu merupakan hak
bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 180)
b.
Hadits
Adapun hadits tentang wasiat ini, dalam kitab Bulughul
Maram dijelaskan bahwasanya :
َوَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه
سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ
أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ) رَوَاهُ
أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ
وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Artinya :
Abu Umamah Al-Bahily ra. Berkata : aku mendengar
Rasulullah bersabda: “sesungguhnya allah telah memberi hak kepada tiap-tiap
yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad dan Imam Empat
kecuali Nasa’i. Hadits hasan menurut Ahmad dan Tirmidzi, dandikuatkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud).
c.
Ijma
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan
syari’at Allah dan Rasul-Nya. Ijma didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits.
4. Rukun dan Syarat Wasiat
a.
Rukun Wasiat
1. Ada
orang yang bewasiat, hendakklah bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebakan
serta kehendaknya sendiri.
2. Ada yang menerima wasiat (mausilah).
Keadaannya hendaklah dengan jalan yang bukann maksiat, baik pada kemaslahatan
umum, seperti membangun mesjid, sekolah, atau lail-lainnya. Tetapi kalau kepada
yang tertentu, hendaklah ditambah syarat yang bersifat seseorang yang boleh
memiliki.
3. Sesuatu yang dimaksiatkan,disyaratkan dapat
berpindah mlik dari seorang kepada orang lain.
4. Lafaz (kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang
dapat dipahami untuk wasiat.[4]
b.
Syarat Wasiat
1) Syarat orang yang berwasiat
Adapun syarat dari orang yang berwasiat, ialah :
a)
Baligh
b)
Berakal sehat
c)
Atas kehendak sendiri,
tanpa paksaan dari pihak manapun.
Menurut Sayyid Sabiq disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah
orang yang ahli kebaikan. Yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan)
yang sah.
2) Syarat orang yang menerima wasiat
a) Bukan ahli waris dari orang yang berwasiat
b) Orang yang diberikan wasiat disyaratkan ada dan benar-benar ada disaat
wasiat dilaksanakan baik ada secara hayat maupun secara pemikiran, seperti
berwasiat kepada anak dalam kandungan, maka kandungan itu harus ada diwaktu
wasiat diterima.
c) Orang yang diberi wasiat bukanlah orang yang membunuh orang yang memberi
wasiat.
d) Tidak menolak pemberian wasiat
Tetapi
kalau ia merasa kurang cukup mempunyai sifat-sifat itu, atau kurang kemauan dan
kesanggupan untuk menjalankan tanggung jawab yag begitu berat, lebih baik tidak
diterimanya agar dapat diserahkan kepada orang lain sehingga pekerjaan tidak
sia-sia.[5]
3) Syarat benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah
benda-benda atau manfaat yang bisa dimiliki dan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan manusia secara positif.
Adapun syarat benda yang diwasiatkan tersebut ialah sebagai berikut :
a)
Jumlah wasiat tidak lebih
dari 1/3 dari harta yang ditinggalkan, karena kalu melebihi dari batas tersebut
akan membawa madharat bagi ahli waris sendiri, sebagaimana ditegaskan
Rasulullah dalam salah satu hadits yang berbunyi :
عَنْ سَعْدِ بْنِ اَبِيْ وَقَاصٍ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ النَّبِىُّ
صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُوْدُنِيْ وَاَنَا بِمَكَّةَ وَكُلْتُ لَهُ
يَا رَسُوْلَ اللّهِ اُوْصِى بِمَالِى كُلِّهِ قَالَ لاَ قُلْتُ فَالشَّطْرُ قَالَ
لاَ قُلْتُ اَلثُّلُثُ قَالَ فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ اِنْ
تَدَعْ وَرَثَتَكَ اَغْنِيَاءَ خَيْرٌ
مِنْ اَنْ تَدَعْهُمْ عَالَةً يَتَكَنَّفُوْنَ
النَّاسَ فِيْ اَيْدِيْهِمْ . رواه البخاري و مسلم ] ]
Artinya :
“Dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. kembali
ke Mekah dan aku berada di sana, kemudian aku bertanya : ‘Wahai Rasulullah,
bolehkah saya berwasiat dengan seluruh hartaku ?’. Beliau menjawab: ‘Tidak’.
Lalu saya bertanya kembali: ‘Bagaimana kalau separuhnya ?’. Beliau menjawab:
‘Tidak’. Lalu saya bertanya lagi: ‘Bagaimana kalau sepertiganya’. Beliau
menjawab: ‘Sepertiga itu sudah cukup banyak. Jika engkau meninggal ahli warismu
kaya, itu akan lebih baik daripada meninggalkannya dalam keadaan fakir dan
miskin, dan meminta-minta pada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
b)
Dapat berpindah milik dari
seseorang kepada orang lain
c)
Harus ada ketika wasiat
diucapkan
d)
Harus dapat memberi
manfaat
e)
Tidak bertentangan dengan
hukum syara’.
Menurut pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa
harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris (ayat 2). Menurut
Amir Syarifuddin, harta yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi sepertiga
harta yang dimiliki oleh pewasiat.
Menurut pasal 195 ayat 2 bahwa wasiat hanya diperbolehkan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli
waris menyetujuinya. Pernyataan persetujuan dibuat lisan dihadapan dua orang
saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris. Pasal 195
ayat 4 menerangkan apabila wasiat melebihi sepertiga harta warisan sedangkan
ahli waris yang lain tidak menyetujui maka wasiatnya hanya dilaksanakan sampai
batas sepertiga harta warisan.
4) Syarat-syarat shighat
a) Kalimat dapat dimengerti maupun dipahami baik dengan lisan maupun tulisan.
b) Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
5. Permasalahan Tentang Wasiat
a.
Yang tidak boleh menerima
wasiat
Orang yang boleh menerima wasiat adalah orang-orang yang
tidak menjadi ahli waris. Jadi, intinya orang yang telah menjadi ahli waris
tidak berhak untuk menerima wasiat karena wasiat itu hanya diperuntukkan kepada
selain orang yang menjadi ahli waris.
b.
Batalnya wasiat
Dari beberapa hal yang mengakibatkan batalnya wasiat ada
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1)
Wasiat tidak mengikat
kecuali apabila orang yang berwasiat tersebut telah meninggal dan tetap dalam
wasiatnya. Orang yang berwasiat dapat menarik kembali wasiatnya sebelum
meninggal. Bila si pemberi wasiat ini menariknya, maka wasiat menjadi batal.
2)
Gila dan rusak akal
menghilangkan kecakapan seseorang melakukan tindakan hukum. Wasiat yang pernah
dibuat oleh orang yang berwasiat dan kemudian orang tersebut tertimpa penyakit
gila, wasiatnya menjadi batal.
3)
Bila orang yang berwasiat
pada saat hidupnya meninggalkan hutang, maka pelaksanaan wasiat dilakukan
setelah pembayaran hutang. Apabila hutang yang harus dibayar akan menghabiskan
seluruh harta kekayaannya maka wasiat yang pernah dibuat sebelumnya menjadi
batal.
4)
Bila penerima wasiat
meninggal terlebih dahulu dari orang yang memberi wasiat maka wasiat tersebut
menjadi batal, karena tujuannya tidak ada lagi.
5)
Bila penerima wasiat
membunuh si pemberi wasiat, maka wasiatnya batal.
6)
Penerima wasiat mempunyai
hak untuk menolak wasiat agar jangan sampai keberatan dalam melaksanakan
wasiat.
7)
Wasiat bisa batal apabila
barang yang diwasiatkan musnah.
Menurut Sayyid Sabiq wasiat itu batal dengan hilangnya
salah satu syarat dari syarat yang ada pada wasiat, misalnya sebagai berikut :
1)
Bila orang yang berwasiat
itu menderita penyakit gila yang parah yang menyampaikannya pada kematian.
2)
Bila orang yang diberi
wasiat mati sebelum orang yang memberi wasiat itu mati.
3)
Bila yang diwasiatkan itu
barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh yang diberi wasiat.
Dalam rumusan fikih tradisional dikemukakan bahwa wasiat
dapat saja batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum
atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan
itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dahulu
meninggal dunia daripada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal
jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang itu diterima oleh orang
yang menerima wasiat.
c. Wasiat wajibah
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh
penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan
wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang
tertentu dalam keadaan tertentu.
Orang-orang yang mendapatwasiat wajibah adalah cucu-cucu
yang orang tuanya telah meninggal mendahului atau berbarengan dengan pewaris.
Mereka hanya diberi wasiat wajibah sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan
tidak melebihi dari 1/3 peninggalan. Oleh karena besar kecilnya bagian orang
tuanya itu tergantung dengan sedikit atau banyaknya saudara orang tuanya, maka
ada kemungkinan bahwa bagian orang tuanya 1/5, ¼, 1/3 atau ½ peninggalannya,
kelebihannya itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Walaupun cucu tersebut
dapat menduduki kedudukan orang tuanya dalam memperoleh harta warisan, namun
jumlah yang diterimanya itu bukan semata-mata berdasarkan mengkuasai (dengan
fardh atau ushubah) tetapai berdasarkan wasiat wajibah. Oleh karena itu
memberikan bagiannya harus didahulukan daripada memberikan bagian kepada ahli
waris.
Dalam hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari
pendappat-pendapat ulama salaf dan khalaf yang menurut Fathur Rahman adalah
tergantung kewajiban berwasiat kepada kerabat, kerabat yang tidak dapat
menerima pusaka ialah diambil dari pendapat para fuqaha dan tabi’in besar ahli
fiqih dan ahli hadits.
C.
HIBAH
1.
Pengertian Hibah
Secara
bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan
menurut istilah hibah yaitu: “akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya
pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela”.[6]
Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah
mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang
kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang
memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan
kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebuti’aarah (pinjaman).[7]
Pembarian tersebut dilakukan atas dasar kasih sayang
serta dilatar belakangi oleh perasaan iba atau rasa kasihan untuk pengembangan
ekonomi dari yang diberi pemberian hibah tersebut. Umpamanya hibah seorang ayah
terhadap anaknya untuk pengembangan usaha kehidupan, atau hibah seorang kakek
terhadap cucunya.
2.
Hukum Hibah
Hukum hibah adalah mubah (boleh). Adapun dengan hal ini,
diperbolehkan memberikan sesuatu kepada orang lain, asal barang atau harta itu
halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT.
Pendapat lain Hukum
hibah adalah sunah, yakni jika dikerjakan akan memperoleh pahala dan jika
ditinggalkan tidak berdosa [8] Adapun barang yang
sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah orang tua kepada
anaknya dalam sabda Nabi : “Tidak halal bagi seseorang yang
telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah atau menarik
kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya”.(HR.Abu Daud).[9]
3.
Dasar Hukum Hibah
a.
Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 177 :
وَاَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَى
وَالْيَتَمَى وَالْمَسَاكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّآئِلِيْنَ. (البقرة :١٧٧)
Artinya :
“Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang
meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah : 177)
b.
Hadits
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. sebagai berikut :
مَنْ جَاءَهُ مِنْ أَخِيهِ مَعْرُوفٌ، مِنْ غَيْرِ
إِشْرَافٍ وَلَا مَسْأَلَةٍ، فَلْيَقْبَلْهُ وَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ
رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ
Artinya :
“Dari Khalid bin ‘Adi sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda ‘Barangsiapa
yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak
karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karena sesungguhnya yang
demikian itu merupakan rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya’.” (HR. Ahmad)
4.
Rukun Hibah
Rukun hibah ada empat macam sebagai berikut :
a. Pemberi hibah
Syaratnya ialah :
1)
Orang yang berhak memperedarkan hartanya dan memiliki
barang yang diberikan.
2)
Baligh, berakal, dan
cerdas. Maka anak kecil, orang gila, dan yang menyia-nyiakan harta tidak sah
memberikan harta benda mereka kepada yang lain, begitu juga wali terhadap harta
benda yang diserahkan kepadanya.
3)
Tidak memiliki kebiasaan
menghambur-hamburkan/pemboros.
b.
Penerima hibah
Yakni ada yang diberi, syaratnya yaitu berhak memiliki.
Tidak sah memberi kepada anak yang masih berada di dalam kandungan ibunya dan
pada binatang, karena keduanya tidak dapat memiliki.
c.
Barang yang dihibahkan
Yakni ada barang yang diberikan, syaratnya hendaknya
barang itu dapat dijual, kecuali :
1)
Barang-barang yang kecil.
Misalnya dua atau tiga butir biji beras, tidak sah dijual, tetapi sah
diberikan.
2)
Barang yang tidak
diketahui tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
3)
Kulit bangkai sebelum
disamak tidaklah sah dijual, tetapi sah diberikan.
d.
Penyerahan
Yakni adanya ijab dan kabul, misalnya orang yang memberi
berkata, “Saya berikan ini kepada engkau.” Jawab yang diberi, “Saya terima.”
Kecuali sesuatu yang menurut kebiasaan memang tidak perlu mengucapkan ijab dan
kabul, misalnya seorang istri menghibahkan gilirannya kepada madunya, dan bapak
memberikan pakaian kepada anaknya yang masih kecil. Tetapi apabila suami
memberikan perhiasan kepada istrinya, tidaklah menjadi milik istrinya selain
dengan ijab dan kabul. Perbedaan antara pemberian bapak kepada anak dengan
pemberian suami kepada istri ialah: bapak adalah wali anaknya, sedangkan suami
bukanlah wali terhadap istrinya. Pemberian pada waktu perayaan mengkhitan anak
hendaklah dilakukan menurut adat yang berlaku di tiap-tiap tempat tentang
perayaan itu.
5.
Ketentuan Hibah
Ketentuan hibah antara lain adalah sebagai berikut :
a.
Hibah dapat dianggap sah
apabila pemberian itu sudah mengalami proses serah terima. Jika hibah itu baru
diucapkan dan belum terjadi serah terima maka yang demikian itu belum termasuk
hibah.
b.
Jika barang yang
dihibahkan itu telah diterima maka yang menghibahkan tidak boleh meminta
kembali kecuali orang yang memberi itu orangtuanya sendiri (ayah/ibu) kepada
anaknya. Misalnya, hibah yang diberikan seorang ayah terhadap anaknya, yang dia
lakukan untuk pembinaan dan pengembangan kehidupannya. Jika ayahnya itu melihat
bahwa dengan hibah tersebut, anaknya justru menjadi lebih nakal dan semakin
tidak teratur, maka dia boleh menarik kembali hibahnya itu. Selain hibah ayah
terhadap anaknya itu, pemberi hibah tidak boleh menarik hibahnya kembali.
Sebagaimana
dikemukakan dalam salah satu hadits Nabi SAW. yang berbunyi :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلَ
اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ اَنْ يُعْطِيَ
عَطِيَّةً اَوْ يَهِبُ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا اِلاَّالْوَالِدَ فِيْمَا
يُعْطِىْ وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِيْ يُعْطِى الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيْهَا
كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَاْكُلُ فَإِذَا شَبَعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِيْ قَيْءِهِ .
(رواه ابو داود)
Artinya :
“Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
seseorang tidak boleh memberi sesuatu kemudian menarik kembali pemberiannya
itu, kecuali pemberian ayah terhadap anaknya. Perumpamaan orang yang memberikan
sesuatu kemudian menarik kembali pemberiannya itu, seperti anjing yang menjilat
kembali muntahnya.” (HR. Abu Dawud)
6.
Syarat-syarat Barang yang Dihibahkan
Disyaratkan barang yang akan dihibahkan sebagai berikut :
a.
Harus ada waktu hibah
b.
Harus berupa harta yang
bermanfaat
c.
Milik sendiri
d.
Barang yang dihibahkan
telah diterima oleh penerima
e.
Penerima menerima hibah
atas izin pemberi hibah
Adapun syarat-syarat bagi
penghibah disyaratkan sebagai berikut :
a.
Penghibah memiliki apa
yang dihibahkan
b.
Penghibah bukan orang yang
dibatasi haknya karena suatu alasan
c.
Penghibah itu orang
dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya
d.
Penghibah itu tidak
dipaksa, sebab akad yang mensyaratkan
e.
Keridhaan dalam
keabsahannya
7.
Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a.
Hibah barang, yaitu
memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai
manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada harapan apapun.
Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
b.
Hibah manfaat, yaitu
memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang
dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi
hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya
memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah
berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah
dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu
tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
8.
Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
a.
Menumbuhkan rasa kasih
sayang kepada sesama
b.
Menumbuhkan sikap saling
tolong menolong
c.
Dapat mempererat tali
silaturahmi
d.
Menghindarkan diri dari
berbagai malapetaka
Dan juga Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh
hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan
menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia.
Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama
Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah
terbentuknya kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan
saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial [10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW. menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah.
- Wasiat adalah pemberian sesuatu kepada orang lain melalui pesan yang dinyatakan sebelum pemberinya meninggal, dan direalisasikan pesan pemberiannya itu sesudah pemberinya meninggal dunia.
- Hibah adalah pemberian harta dari seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya, dan langsung pindah pemilikannya saat akad hibah dinyatakan.
B.
Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali.
Hukum Wari.
Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian.
Idris, Abdul Fatah dkk. 2004. Fikih Islam Lengkap. Jakarta. PT. Rineka Cipta.
Muhammad, Abu Bakar. Fiqih Islam-Terjemah Fat-hul Qarib. Karya
Abditama. Surabaya.1995.
Qosim, M. Rizal. 2014. Pengalaman Fikih 1 untuk
kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Rizal Qosim,
M. 2014. Pengalaman
Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah. Solo. PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Sabiq, Sayyid.1987. Fikih Sunnah 14. terj: Mudzakir. Bandung. PT. Al-Ma’arif.
Subekti , Pokok-pokok
Hukum Perdata.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung. Pustaka Setia.
Zein, Satria
Effendi M. MA. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer. Jakarta.
Kencana.
[1] M. Rizal
Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2014, hlm. 147
[4] H.
Abu Bakar Muhammad, Fiqih Islam-Terjemah Fat-hul Qarib,Karya Abditama, Surabaya
: 1995, Hlm 137
[5] H.
Abu Bakar Muhammad, Fiqih Islam-Terjemah
Fat-hul Qarib,Karya Abditama, Surabaya : 1995, Hlm 206
[8] M. Rizal
Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hlm. 145
[9] Abdul Fatah Idris, dkk, Fikih Islam Lengkap, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004,
Cet. III, hlm. 197
[10] Satria
Effendi M. Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, Jakarta:
Kencana, 2004, Cet. I, hlm. 471-472
Tidak ada komentar:
Posting Komentar