BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
perkembangan pemikiran di Indonesia, salah seorang tokoh yang muncul ke
permukaan adalah Munawir Syadzali. Dalam
upaya menghadapi permasalahan yang terdapat di kalangan masyarakat Islam
Indonesia dan terjadinya stagnasi (kejumudan) pemikiran, beliau mengemukakan
ide yang sangat kontroversial, yaitu penggunaan akal secara optimal untuk
menafsirkan ajaran Islam secara kontekstual atau sesuai dengan konteks kekinian
dan kedisinian. Ide tersebut
berkembang mejadi polemik di kalangan beberapa pakar keislaman di Indonesia.
Percaturan
pemikiran di Indonesia, bukan hanya dilakukan atau dimulai oleh Munawir
Syadzali. Akan tetapi gaung pemikiran
Munawir sangat keras, karena menyangkut masalah hukum yang sumbernya menurut
sebagian besar ulama termasuk kategori yang tidak dapat dilakukan ijtihad
terhadapnya. Dalam istilah populernya
dikenal dengan nash yang qath’i.
Apalagi, pada masa itu, Munawir sedang menjabat menteri Agama RI, yang
diharapkan dapat mendatangkan rasa aman bagi umat Islam dalam menjalankan
ajaran agama seperti yang dipahami. Dalam makalah ini akan dicoba dijelaskan
bagaimana Munawir mengungkapkan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya
tersebut. Serta faktor apa saja yang menyebabkan Munawir menggagas ide tersebut
kepada masyarakat islam di Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
1.
Riwayat hidup
serta perjalanan karir Munawir Syadzali?
2.
Karya-karya
Munawir Syadzali?
3.
Pokok-pokok pemikiran
Munawir Syadzali dalam ranah politik dan agama (termasuk corak pemikiran beliau
dalam bidang fiqih di Indonesia)?
4.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat
Hidup Munawir Syadzali
Munawir Syadzali lahir di Klaten pada tanggal 7 Nopember
1925, dari pasangan Abu Aswad Hasan Syadzali (Mughaffir) dengan Tas’iyah. Ia
anak tertua dari delapan bersaudara.
Menurut pengakuannya, ia dilahirkan dari keluarga miskin sehingga
berpengaruh terhadap kelancaran pendidikannya.
Ia memulai pendidikan dasarnya di Madrasah Bi’tstul Ummah
(sore) dan sekolah desa 3 tahun (pagi) di Karang Anom. Selanjutnya ia masuk
tsanawiyah al-Islam di Sala. Setelah satu tahun di sini, ia pindah ke Manba’ul
‘Ulum, tamat pada tahun 1943.
Selesai di Manbaul ‘Ulum ia langsung mengajar di Sekolah
Rakyat Muhammadiyah Salatiga. Tidak lama setelah itu, ia pindah ke Gunung Pati
menjadi guru merangkap kepala sekolah Ibtidaiyah. Karena pengaruh situasi politik waktu itu, ia
ke Semarang bergabung dengan Hizbullah dalam seksi Gatjo (Gabungan Tjalon
Oelama) pada tahun 1945. Pada tahun 1947 ia diangkat menjadi ketua umum GPII
(Gerakan Pemuda Islam Indonesia) cabang Semarang. Setelah muktamar GPII di
Semarang pada tahun 1950 ia banyak mendengar sebagian besar pemuka Masyumi
membicarakan gagasan persiapan politik Islam di Indonesia yang baru merdeka
itu. Sementara itu, sistem politik Islam tersebut belum jelas.
Dengan obsesinya untuk mencari konsepsi politik Islam
tersebut ia memberanikan diri menulis buku yang berjudul Mungkinkah
Indonesia Bersendikan Islam?[1]
setebal 80 halaman. Tulisan tersebut
digali sendiri dengan membaca beberapa kitab klasik seperti al-Maududi. Menurut Munawir, dalam buku tersebut bukan jawaban
yang ditemukan, tetapi hanya memunculkan berbagai problem.
Ketika ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya
di Universitas George Town, jurusan hubungan Internasional pada tahun 1956-1959,
ia melanjutkan pencariannya tentang politik Islam yang diwujudkan dalam
thesisnya yang berjudul Indonesia’s Muslim Political Parties and Their
Political Concept. Dalam pencariannya,
Munawir memulai riset dengan
kepala kosong dan tidak menyiapkan suatu konsepnya terlebih dahulu. Kemudian ia
menyusun bahan/data yang ditemukan baik yang disetujui atau tidak. Berbeda
dengan kebanyakan peneliti yang sudah matang konsepnya tentang sesuatu,
kemudian mencari data untuk menunjang konsep dan menguatkan pendapat yang
dipegangnya.
Sejak tahun 1950, Munawir memulai karirnya di Kementerian
Luar Negeri. Pertama ia bertugas di seksi Arab, kemudian pada tahun 1954, ia ditempatkan
di Direktorat Eropa. Di luar negeri ia memulai karirnya dibawah atase
penerangan kedutaan Washington DC pada tahun 1955. Enam bulan kemudian, 1956 ia pindah ke bagian
politik. Pada tahun 1963-1968, ia bertugas di Kolombo. Pada tahun 1970, ia
menjadi orang kedua KBRI London. Pada tahun 1975- 1980, Munawir menjadi Dubes
RI untuk Kuwait, Emirat Arab, Qatar dan Bahrain.
Pada tahun 1980-1983, setelah kembali ke Indonesia, ia
bertugas di Dirjen Politik. Akhirnya
pada tahun 1983-1993, ia menjabat sebagai Menteri Agama RI selama dua
periode. Sekarang, selain aktif di
Komnas HAM, juga menjadi Dosen Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam mata kuliah Fiqh Siyasah.
B. Karya
karya Munawir Syadzali
Karya tulis Munawir ada yang dalam bentuk buku, makalah dan
pidato antara lain:
1. Mungkinkah Indonesia bersendikan Islam
(1950)
2. Indonesia’s Moeslim Parties and Their
Political Concept (1959)
3. Shari’ah a Dinamic Legal System (makalah di
Colombo 1985)
4. The Rule
of The Moeslim Religions Leaders in the Solution of The Population
Problems Indonesian Experience (makalah
di Kairo 1987)
5. Islam dan tata
Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran
6. Islam Realitas dan Orientasi Masa Depan Bangsa (UI Press Jakarta 1993 kumpulan tulisan)
7. Bunga Rampai
Wawasan Islam Dewasa ini (kumpulan tulisan, UI Press, Jakarta, 1994) .
C. Pokok-pokok Pemikiran Munawir Sjadzali
Berdasarkan pengkajian terhadap karya
dan tulisan-tulisan Munawir, ada dua pokok pikirannya yang berkaitan dengan
Islam dan kemanusiaan. Pertama, agama dan negara di Indonesia. Kedua,
reaktualisasi ajaran Islam.
1.
Hubungan Agama
dan Negara di Indonesia.
Pemikiran Munawir Syadzali tentang
Agama dan Negara di Indonesia berawal dari isu yang muncul pada awal
kemerdekaan, yaitu keinginan sebagian tokoh Islam untuk menerapkan politik
Islam di Indonesia. Karena ia merasa
bahwa konsep politik Islam belum jelas, ia menggali konsep tersebut dari kitab
klasik seperti karya al-Maududi, al-Mawardi dan lainnya dengan memunculkan buku
Mungkinkah Indonesia bersendikan Islam.
Menurut Munawir buku tersebut tidak mengemukakan jawaban, tetapi hanya
memunculkan problem. Dalam pencarian
berikutnya ia juga menulis tentang masalah tersebut, yang kemudian menjadi buku
Islam dan Tata Negara. Dari hasil
penelitiannya, ia berpendapat bahwa negara Indonesia bukan negara agama, karena
untuk negara agama harus ada tiga syarat, yaitu:
1. Negara mempunyai agama resmi atau agama negara
2. Hukum berdasarkan kitab suci dari agama resmi/agama
negara;
3. Negara dipimpin oleh pimpinan agama atau tokoh agama.
Ketiga unsur ini tidak ada di
Indonesia, negara Indonesia bukan negara sekuler, karena pada suatu negara
sekuler pemerintah tidak ikut campur dalam urusan agama masyarakat, sementara di Indonesia masalah agama di atur oleh negara dengan
adanya Menteri Agama.[2]
Dari hasil penelitiannya, yang
menurutnya, merupakan hasil penelitian akhir sementara yang dikemukakan dalam bukunya Islam dan
Tata Negara tersebut, Islam tidak mempunyai preferensi terhadap
suatu sistem politik tertentu atau tidak ada konsep baku politik Islam, yang ada
hanya seperangkat tata nilai etika kenegaraan, karena dalam al-Quran dan
al-hadis tidak ada aturan yang menjelaskan bagaimana seharusnya bentuk negara
dalam Islam. Bahkan tidak ada satu nash
yang secara tegas menyebutkan tentang upaya pembentukan negara. Di samping itu, dalam sejarah Islam tidak ada
contoh yang dapat dijadikan acuan mengenai bentuk dan sistem pemerintahan
Islam.[3]
Munawir tidak sependapat dengan
pandangan yang menyatakan bahwa antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan,
seperti yang diartikulasikan oleh Abu al-A’la al-Maududi.[4] Menanggapi
pendapat al-Maududi tersebut Munawir mengemukakan bahwa, Islam tidak menawarkan
mekanisme baku seperti dalam mengatur suksesi atau peralihan kekuasaan yang
merupakan urusan penting dalam membangun teori administrasi politik sebuah
negara.[5]
Munawir juga tidak sependapat dengan
Ali Abd al-Raziq yang menganggap bahwa agama tidak ada hubungan dengan urusan
kenegaraan, dan nabi Muhammad tidak pernah mendirikan negara Islam di Madinah,
beliau hanya seorang Rasul.[6] Menanggapi pendapat Ali Abd al-Raziq
tersebut, Munawir mengemukakan bahwa hal tersebut bukan saja mengingkari
kemungkinan adanya hubungan antara agama dan negara, tetapi juga menolak secara
kategoris aspek normatif Islam dalam proses sosial politik dan mekanisme
pemerintahan sebuah negara.[7]
Dari keterangan di atas, terlihat bahwa
pemikiran politik Munawir merupakan sintesa dari pemikiran Abu al-A’la al-Maududi
dan Ali Abd al-Raziq. Dapat dikatakan pemikirannya termasuk pada pemikir
politik Islam yang menganggap agama dan negara berhubungan secara simbiotik. Anggapan ini didasarkan pada paradigma yang
dikemukakan oleh Din Syamsuddin, bahwa ada tiga paradigma hubungan antara agama
dan negara, yaitu :
a. Agama dan negara tidak bisa dipisahkan
b. Agama dan Negara berhubungan secara simbiotik
c. Sekularistik, seperti yang dipahami oleh Ali Abd
al-Raziq.
Yang terpenting, menurut Munawir,
meskipun bukan negara Islam, tetapi
aspirasi umat Islam dapat tersalurkan oleh pemerintah. Dengan arti walaupun
secara legalitas formal negara Indonesia tidak dalam bentuk negara Islam,
tetapi nilai-nilai Islam mempengaruhi dan dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, meskipun negara bukan
negara Islam tetapi ajaran Islam dapat tumbuh dan berkembang.
Apalagi dalam kenyataan sejarah,
politik Islam di Indonesia sejak orde lama sampai orde baru sampai dekade 70 an
dianggap sebagai pesaing kekuasaan dan dicurigai oleh pemerintah, seperti yang
terjadi dalam peristiwa Gerakan Darul Islam dengan negara Islamnya pada tahun
1949.[8] Pada Masa Orde
Baru dengan ikut campurnya pemerintah mengatur Parmusi (Partai Muslim
Indonesia) pasca Masyumi, dengan tidak adanya izin kepala negara kepada
orang-orang Masyumi untuk memimpin Parmusi tersebut. Oleh sebab itu, pemikir
Islam baru lebih menekankan substansi bukan kepada legalitas formalnya.
2. Reaktualisi Ajaran Islam
Gagasan reaktualisasi ajaran Islam,
sejak tahun 1985,[9] sebetulnya
telah dilontarkan oleh Munawir kepada masyarakat Islam Indonesia dalam beberapa
kesempatan di dalam atau di luar negeri.[10] Akan tetapi,
gagasan tersebut mendapatkan reaksi yang keras setelah disampaikan di Forum
Paramadina, berupa munculnya polemik dari kelompok yang pro dan yang
kontra. Bahkan dari polemik yang
berkembang, kelompok kontra lebih banyak dari yang pro dan kritikannya
dikemukakan secara keras dan tajam.[11]
Ide yang mengundang kontroversi
tersebut adalah dalam masalah kewarisan tentang formulasi 2:1 dalam al-qur’an,
bagaimana kalau formulasi tersebut
menjadi 1:1 untuk umat Islam di Indonesia.
Munawir melihat bahwa kategori hukum yang berhubungan dengan ibadah
murni, hampir tidak ada ruang campur
tangan penalaran. Akan tetapi kategori
hukum yang berhubungan dengan kemasyarakatan terbuka penalaran intelektual
dalam mencari cara pelaksanaan dengan menjadikan kepentingan masyarakat dan
prinsip keadilan sebagai dasar pertimbangan dan tolak ukur utama.
Dari hasil pengamatan Munawir di berbagai
tempat, umat Islam Indonesia masih mempunyai sikap mendua dalam beragama.
Adanya keinginan untuk melaksanakan pembagian warisan yang menurut al-Qur’an
anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali bagian perempuan di satu sisi, dan di
satu sisi dengan adanya pemberian hibah merupakan indikasi bahwa pembagian
warisan secara Islam tidak adil. Tindakan sebagian umat Islam menempuh cara
memberikan hibah kepada anak perempuan dan sebagian umat Islam -bahkan termasuk
pemuka agama- membawa masalah warisannya kepada pengadilan negeri.[12] Sikap mendua
dalam pengamalan agama ini dikhawatirkan umat Islam tidak mengakui kebenaran
aturan Islam. Oleh sebab itu, perlu reaktualisasi ajaran Islam.
Kondisi masyarakat Islam yang seperti
itulah yang mendorongnya untuk mengemukakan gagasan rektualisasi ajaran Islam
tersebut. Ditambah dengan adanya proyek kompilasi hukum Islam tentang perkawinan,
kewarisan, dan wakaf. Sebagai Menteri Agama waktu itu, ia melihat bahwa moment
ini tepat untuk mengemukakan gagasannya. Menurut Munawir, cukup banyak ayat
al-Qur’an[13] mengandung
petunjuk yang tidak relevan lagi dengan tahapan perkembangan peradaban dimana
kita hidup sekarang.[14] Untuk itu perlu dilakukan ijtihad agar hukum
Islam yang diperlakukan adalah hukum Islam yang sesuai dengan sosial dan
kultural Indonesia, yang berbeda dengan cultural Arab ketika al-Qur’an
diturunkan.
Perubahan situasi dan kondisi menurut
Munawir, ikut berpengaruh terhadap penentuan hukum dengan alasan: 1. Nash al-Qur’an tentang kemasyarakatan (bukan
ibadah) diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi, misalnya tadarrujnya
al-Qur’an dalam pengharaman khamar.
2. Dalam al-Qur’an terdapat
nasikh dan mansukh, yang dimansukhkan karena tidak sesuai dengan situasi dan
kondisi yang ada pada saat itu.
Di samping itu, Munawir juga merujuk
pernyataan Abu Yusuf, bahwa nash sekalipun kalau dahulu dasarnya adat dan adat
tersebut berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung di dalam nash
tersebut. Lebih jauh Munawir menyatakan,
rujuklah nash langsung dengan memperhatikan asbab an-nuzul dan situasi
masyarakat pada saat ayat dan hadis itu muncul. Apabila yang dirujuk
kitab-kitab klasik, Munawir mendasarkan kepada kekhawatiran Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha bahwa kitab klasik tersebut ditulis sesuai kondisi dan situasi
saat itu dan sesuai pula dengan taraf intelektual pada masa itu. Hal itu juga
terlihat dari fatwa imam Syafi’i, yang mempunyai fatwa berbeda dalam masalah
yang sama di wilayah yang berbeda (Irak dan Mesir), yang dikenal dengan istilah
qaul al-qadim dan qaul al-jadid-nya.
Telah dikemukakan bahwa gagasan
reaktualisasi Munawir mendapatkan kritikan yang keras dan tajam dari kelompok
kontra. Misalnya Rifyal Ka’bah menulis dengan judul “Bawalah kepada Kami
al-Qur’an yang Baru atau Gantilah”.[15] Ahmad Azhar Basyir
menyatakan bahwa reaktualisasi dengan pendekatan sosiologis tidak selalu
relevan. Jangan tergesa-gesa mengambil
keputusan dari kasus khusus untuk mengambil kesimpulan bahwa hukum waris
bertentangan dengan rasa keadilan.[16] Kamaluddin
Marzuki menulis dengan judul jangan sampai energi terbuang percuma. Dalam tulisannya ia mempertanyakan apakah
ada nasikh mansukh al-Qur’an dan hadis dengan ra’yu dan menyesuaikan situasi
dengan Islam bukan mengislamkan, tetapi mengkondisikan Islam.[17] Di bawah judul
“Reaktualisasi Memahami Kesadaran Hukum
Masyarakat” dinyatakan bahwa pembagian waris sudah bersifat final dan
tuntas, tidak ada peluang ijtihad. Di bagian lain
ia mengemukakan lemparkan jauh-jauh ambisi dan selera pribadi.[18]
Menurut hemat penulis, kritikan
tersebut di atas dikemukakan oleh kelompok kontra disebabkan karena Munawir
mengadakan ijtihad terhadap ayat yang dianggap termasuk nash yang qath’i. Ayat mawaris yang sudah rinci menurut ulama
termasuk nash qath’i yang tidak dapat dilakukan ijtihad terhadapnya. Meskipun
para ulama sebelumnya melakukan melakukan pembaruan pemikiran di bidang hukum,
mereka tidak menyentuh hal yang sudah rinci diatur al-Qur’an, atau mungkin juga
karena setting sosial masyarakat dan kultur mereka hampir sama dengan
masyarakat pada masa itu, karena sebagian mereka berasal dari daerah sana.
Sepertinya Munawir sama dengan al-Na’im dari Sudan yang juga menganggap
ayat-ayat mawaris ini sebagai ayat yang mendeskriditkan wanita, sehingga harus
ditinggalkan karena tidak sesuai dengan
prinsip umum keadilan dan persamaan.
Munawir memang mengakui ada nash yang
qath’i dan zhanni, namun berbeda dengan ulama klasik, nash yang qath’i baginya
adalah yang menyangkut ibadah mahdat, sedangkan nash yang menyangkut kemasyarakatan
termasuk dalam kategori zhanni.
Menurut Munawir, reaksi tajam tersebut disebabkan oleh 4 hal,
yaitu: 1) tidak mengikuti ceramahnya secara utuh (parsial). 2) Kurang mengerti
ilmu hukum Islam. 3) tidak mempunyai kesadaran tentang realitas yang hidup di
tengah masyarakat. 4) sikap apriori yang diwarnai oleh prasangka buruk.[19]
Menghadapi kritikan yang dikemukakan
oleh kelompok kontra tersebut, Munawir menyatakan bahwa kalau umat Islam harus
menerapkan semua ketentuan yang ada dalam al-Qur’an, bagaimana dengan ayat-ayat
yang berhubungan dengan perbudakan. Bagaimana pula dengan tindakan Umar bin
Khattab yang tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf -yang pada masa Nabi
mendapatkan bagian- apakah berarti Umar juga tidak mengamalkan al-Qur’an.
Menurut Munawir, sangat berbahaya
memahami ayat secara teks tanpa mengaitkan dengan kondisi, situasi dan latar
belakang turunnya al-Qur’an.[20] Ia
juga menambahkan bahwa penafsiran
seperti yang dilakukannya, sudah
banyak dilakukan oleh ulama-ulama sebelumnya, seperti Abu Yusuf dari Ahnaf, Ibn
al-Qayyim dari mazhab Hanbali dan al-Maraghi, yang membenarkan terjadinya
perubahan atau pergeseran hukum karena perubahan zaman, bahkan tokoh ini ikut
mempengaruhi pemikirannya.[21]
Menurut Bahtiar Effendi, reaktualisasi
Munawir bukan pada waris tetapi pada premis “terdapat sejumlah stipulasi
al-Qur’an yang mengatur masalah sosial tidak sesuai dengan masa kini”[22] Hal tersebut tepat sekali, karena gugatan
Munawir terhadap formulasi 2:1 hanya sebagian dari contoh. Menurut analisis penulis, sebenarnya Munawir
menganut العام يراد به الخاص [23] Hal ini terlihat dari pertimbangannya
mengenai ayat atau hadis yang tidak untuk saat sekarang, karena ketika ayat
diturunkan atau hadis dimunculkan sesuai dengan situasi sosial, budaya, tingkat
kemajuan peradaban dan intelektual masyarakat waktu itu.[24]
Lebih jauh Munawir menyatakan, jika
terjadi pertentangan antara manqul (nash) dengan nalar, diambil yang sesuai
dengan nalar seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh. Abduh juga mengajak umat Islam agar memakai
metode pendahulu untuk menggali sumber asli sehingga terbebas dari taqlid.
Itulah yang saya lakukan, kata Munawir.[25]
Apabila dikaitkan antara kedua pokok
pemikirannya, benang merahnya adalah upaya Munawir untuk menghadirkan Islam
yang cocok untuk umat Islam di Indonesia yang setting sosial masyarakatnya
berbeda dengan setting sosial masyarakat Arab. Oleh sebab itu, umat Islam agar
melakukan ijtihad secara murni dan jujur, seperti yang pernah dilakukan oleh
Umar bin Khattab, sehingga Islam bisa lebih responsif terhadap keperluan lokal
temporal atau sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan.
BAB III
PENUTUP.
A.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian terhadap
pemikiran Munawir Syadzali, terlihat bahwa ia mengungkapkan pemikirannya tentang
hubungan agama dan negara didasarkan oleh realitas sosial masyarakat Indonesia
yang ingin menerapkan ajaran Islam disatu sisi dan ketidakjelasan konsep Islam
disisi lain. Menurutnya suatu negara
legalitas formalnya tidak perlu negara Islam, yang penting substansinya dalam
negara tersebut, agama diakui dan bebas tumbuh dan berkembang. Karena tidak ada preferensi tentang bentuk
negara dalam Islam, yang ada hanya serangkaian nilai tentang etika kenegaraan.
Sementara pada masalah reaktualisasi
ajaran Islam yang terfokus pada formula 1:2 dalam pembagian warisan, menurutnya
tidak cocok untuk situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang mempunyai
kultur yang berbeda dengan masyarakat Arab.
Oleh sebab itu, umat Islam Indonesia harus melakukan ijtihad dalam
masalah kemasyarakatan agar Islam lebih responsif terhadap perkembangan zaman.
B.
Saran-saran
Mengetahui keterbatasan ilmu dan wawasan kami sebagai
penyusun, diharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen pengampu maupun
dari teman-teman sesama akademisi yang membaca penyusunan makalah ini.
[1] Munawir, Azas
Pancasila Aspirasi Umat Islam dan Masa Depan Bangsa dalam Islam
Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta, UI Press,1993, h.
39.
[2] Munawir Syadzali,
Negara Pancasila Bukan Negara Agama dan Bukan Negara Sekuler (ceramahpada
Pekan Orientasi Manggala BP7 12 Juni 1990, dalam Islam realitas Baru,
op.cit., h. 80.
[3] Munawir Syadzali,
Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah
dan Pemilkiran, Jakarta: UI Press, 1990, h. 97.
[4] Abu al-A’la
al-Maududi, Political Theory of Islam, dalam Khursyid Ahmad, Islamic
Law and Constitution, Lahore, 1967, h. 243.
[5] Munawir, op.
cit., h. 175.
[6]Ali ‘Abd al-Raziq,
Islam wa Ushul al-Hukm, Beirut, 1966, h. 42.
[7] Munawir,
op.cit., h. 97
[8]Fachri Ali dan
Bahtiar Effendi, Merambah jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990, h. 83 dan BJ Bolland, Pergumulan
Islam di Indonesia 1945-1972, Jakarta, Grafiti Press, 1985, h. 57-66.
[9] Munawir Syadzali,
Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Islam Realitas Baru dan Orientasi
Masa Depan Bangsa, Jakarta, UI Press, 1993, h. 16 dan Munawir, Dari
Lembah Kemiskinan, M. Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran
islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, Jakarta, Paramadina, 1995,
h. 87.
[10]Ceramah dengan
tema tersebut disampaikan pada Seminar Hukum Islam di IAIN Padang, Bahtsul
Masail Syuriah NU Jawa Timur di Tambak Beras, Seminar Kompilasi Hukum Islam
oleh Muhammadiyah Yogyakarta, Penataran pimpinan pemuda Anshar seluruh
Indonesia di Malang, dan dua kali latihan kader tarjih Muhammadiyah di
Yogyakarta. Ceramah yang sama juga telah
disampaikan kepada mahasiswa Indonesia di Kairo, pada forum kodifikasi hukum
Islam yang dilaksanakan oleh South Asian Shariah Association di Kolombo, dan
pada jamuan makan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pengajaran Malaisia di
Kuala Lumpur. Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam dalam Iqbal Abd Rauf
Saimina, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, , Jakarta, Pustaka Pnjimas,
1988, h. 1.
[11]Misalnya kritikan
yang dikemukakan oleh Rifyal Ka’bah, Ali Yafi, Ahmad Azhar Basyir dll. Tulisan lengkapnya dapat dilihat pada majalah
Panji Masyarakat edisi Juli - Desember 1987.
Sebagian tulisan dapat dilihat dalam M. Wahyuni Nafis, dkk (ed.) , op.cit.,
h. 251-333.
[12] Munawir Syadzali,
Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta, Paramadina, 1997, h. 7 dan M. Wahyuni
Nafis, dkk. (ed.), op.cit., h. 17-18.
[13] Misalnya QS.
al-Nisa’/4:3, al-Mu’min/23:6, al-Ahzab/ 33:32, dan al-Ma’arij/70: 30, seperti
yang dikemukakannya dalam M.Wahyni Nafis, dkk. ibid., h. 120-121.
[14] Munawir Syadzali,
“Ijtihad dan Kemashlahatan Umat” dalam Haidar Baqir dan Syafiq Bakri
(ed.), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung, Mizan, 1996, h. 117.
[15] Majalah Panji Masyarakat no. 548 tanggal 11- 20 Agustus 1987, h. 50-54.
[16] Majalah Panji
Masyarakat no. 552, tanggal 21 - 30 September 1987, h. 66-67.
[17] Majalah Panji
Masyarakat no. 553, tanggal 1-10 Oktober 1987, h. 41-43.
[18] Majalah Panji
Masyarakat no. 554 tanggal 11-20 Oktober 1997, h. 59-63.
[19] Munawir Syadzali,
Reaktualisasi Ajaran Islam, op.cit., h. 17.
[20] Munawir Syadzali,
Ijtihad dan Kemashlahatan Umat, dalam Haidar Baqir dan Syafiq Bakri
(ed.), op.cit., h. 120.
[21] Munawir Syadzali,
Pembangunan Hukum dan Perkembangan Fiqh di indonesia, dalam Islam
Realitas Baru, op.cit., h. 60 dan Pokok Pikiran Hukum Islam Prof. K.H.
Ibrahim Husen, LML dalam Munawir
Syadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, Jakarta, UI Press,
1994, h. 60.
[22] Bahtiar Effendi ,
Islam dan Negara di Indonesia, Munawir Syadzali dan Pengembangan Dasar-dasar
Teologi Baru Politik Islam, dalam Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), op.cit., h.
401. Tulisan ini dengan judul yang sama
dimuat dalam Studia Islamica, vol.II no.
2, 1995.
[23] Meskipun ayat dan
hadis tersebut lafalnya berlaku untuk umum tetpi diberlakukan khusus hanya
terbatas pada situasi dan kondisi yang sama dengan situasi al-Qur’an diturunkan
atau hadis dimunculkan.
[24] Munawir Syadzali,
dalam Haidar Baqir dan Syafiq Bakri (ed.), op.cit., h. 117-118.
[25] Munawir Syadzali,
Reaktualisasi Ajaran islam dalam Konteks Realitas Baru dan Orientasi Masa
Depan ( Orasi Ilmiah waktu Penerimaan Doktor Honoris Causa di IAIN Jakarta,
1994, dalam Bunga Rampai, op.cit., h. 44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar