Sabtu, 29 Oktober 2016

BIOGRAFI MUNAWIR SYADZALI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam perkembangan pemikiran di Indonesia, salah seorang tokoh yang muncul ke permukaan adalah Munawir Syadzali.  Dalam upaya menghadapi permasalahan yang terdapat di kalangan masyarakat Islam Indonesia dan terjadinya stagnasi (kejumudan) pemikiran, beliau mengemukakan ide yang sangat kontroversial, yaitu penggunaan akal secara optimal untuk menafsirkan ajaran Islam secara kontekstual atau sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian.    Ide tersebut berkembang mejadi polemik di kalangan beberapa pakar keislaman di Indonesia.
Percaturan pemikiran di Indonesia, bukan hanya dilakukan atau dimulai oleh Munawir Syadzali.  Akan tetapi gaung pemikiran Munawir sangat keras, karena menyangkut masalah hukum yang sumbernya menurut sebagian besar ulama termasuk kategori yang tidak dapat dilakukan ijtihad terhadapnya.  Dalam istilah populernya dikenal dengan nash yang qath’i.  Apalagi, pada masa itu, Munawir sedang menjabat menteri Agama RI, yang diharapkan dapat mendatangkan rasa aman bagi umat Islam dalam menjalankan ajaran agama seperti yang dipahami. Dalam makalah ini akan dicoba dijelaskan bagaimana Munawir mengungkapkan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya tersebut. Serta faktor apa saja yang menyebabkan Munawir menggagas ide tersebut kepada masyarakat islam di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Riwayat hidup serta perjalanan karir Munawir Syadzali?
2.      Karya-karya Munawir Syadzali?
3.      Pokok-pokok pemikiran Munawir Syadzali dalam ranah politik dan agama (termasuk corak pemikiran beliau dalam bidang fiqih di Indonesia)?

4.       
                                                                        BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Munawir Syadzali
Munawir Syadzali lahir di Klaten pada tanggal 7 Nopember 1925, dari pasangan Abu Aswad Hasan Syadzali (Mughaffir) dengan Tas’iyah. Ia anak tertua dari delapan bersaudara.  Menurut pengakuannya, ia dilahirkan dari keluarga miskin sehingga berpengaruh terhadap kelancaran pendidikannya. 
Ia memulai pendidikan dasarnya di Madrasah Bi’tstul Ummah (sore) dan sekolah desa 3 tahun (pagi) di Karang Anom. Selanjutnya ia masuk tsanawiyah al-Islam di Sala. Setelah satu tahun di sini, ia pindah ke Manba’ul ‘Ulum, tamat pada tahun 1943.
Selesai di Manbaul ‘Ulum ia langsung mengajar di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Salatiga. Tidak lama setelah itu, ia pindah ke Gunung Pati menjadi guru merangkap kepala sekolah Ibtidaiyah.  Karena pengaruh situasi politik waktu itu, ia ke Semarang bergabung dengan Hizbullah dalam seksi Gatjo (Gabungan Tjalon Oelama) pada tahun 1945. Pada tahun 1947 ia diangkat menjadi ketua umum GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) cabang Semarang. Setelah muktamar GPII di Semarang pada tahun 1950 ia banyak mendengar sebagian besar pemuka Masyumi membicarakan gagasan persiapan politik Islam di Indonesia yang baru merdeka itu. Sementara itu, sistem politik Islam tersebut belum jelas.
Dengan obsesinya untuk mencari konsepsi politik Islam tersebut ia memberanikan diri menulis buku yang berjudul Mungkinkah Indonesia Bersendikan Islam?[1] setebal 80 halaman.  Tulisan tersebut digali sendiri dengan membaca beberapa kitab klasik seperti al-Maududi. Menurut Munawir, dalam buku tersebut bukan jawaban yang ditemukan, tetapi hanya memunculkan berbagai problem. 
Ketika ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas George Town, jurusan hubungan Internasional pada tahun 1956-1959, ia melanjutkan pencariannya tentang politik Islam yang diwujudkan dalam thesisnya yang berjudul Indonesia’s Muslim Political Parties and Their Political Concept.  Dalam pencariannya, Munawir memulai  riset dengan kepala kosong dan tidak menyiapkan suatu konsepnya terlebih dahulu. Kemudian ia menyusun bahan/data yang ditemukan baik yang disetujui atau tidak. Berbeda dengan kebanyakan peneliti yang sudah matang konsepnya tentang sesuatu, kemudian mencari data untuk menunjang konsep dan menguatkan pendapat yang dipegangnya.    
Sejak tahun 1950, Munawir memulai karirnya di Kementerian Luar Negeri. Pertama ia bertugas di seksi Arab, kemudian pada tahun 1954, ia ditempatkan di Direktorat Eropa. Di luar negeri ia memulai karirnya dibawah atase penerangan kedutaan Washington DC pada tahun 1955.  Enam bulan kemudian, 1956 ia pindah ke bagian politik. Pada tahun 1963-1968, ia bertugas di Kolombo. Pada tahun 1970, ia menjadi orang kedua KBRI London. Pada tahun 1975- 1980, Munawir menjadi Dubes RI untuk Kuwait, Emirat Arab, Qatar dan Bahrain.
Pada tahun 1980-1983, setelah kembali ke Indonesia, ia bertugas di Dirjen Politik.  Akhirnya pada tahun 1983-1993, ia menjabat sebagai Menteri Agama RI selama dua periode.  Sekarang, selain aktif di Komnas HAM, juga menjadi Dosen Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam mata kuliah Fiqh Siyasah.

B.     Karya karya Munawir Syadzali
Karya tulis Munawir ada yang dalam bentuk buku, makalah dan pidato antara lain:
1.  Mungkinkah Indonesia bersendikan Islam (1950)       
2.  Indonesia’s Moeslim Parties and Their Political Concept (1959)
3.  Shari’ah a Dinamic Legal System (makalah di Colombo 1985)    
4. The Rule of The Moeslim Religions Leaders in the Solution of The Population Problems   Indonesian Experience (makalah di Kairo 1987)
5.  Islam dan tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran
6. Islam Realitas dan Orientasi Masa Depan Bangsa  (UI Press Jakarta 1993 kumpulan tulisan)
7. Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa ini (kumpulan tulisan, UI Press, Jakarta, 1994) .


C.     Pokok-pokok Pemikiran Munawir Sjadzali
Berdasarkan pengkajian terhadap karya dan tulisan-tulisan Munawir, ada dua pokok pikirannya yang berkaitan dengan Islam dan kemanusiaan. Pertama, agama dan negara di Indonesia. Kedua, reaktualisasi ajaran Islam.
1.      Hubungan Agama dan Negara di Indonesia.
Pemikiran Munawir Syadzali tentang Agama dan Negara di Indonesia berawal dari isu yang muncul pada awal kemerdekaan, yaitu keinginan sebagian tokoh Islam untuk menerapkan politik Islam di Indonesia.  Karena ia merasa bahwa konsep politik Islam belum jelas, ia menggali konsep tersebut dari kitab klasik seperti karya al-Maududi, al-Mawardi dan lainnya dengan memunculkan buku Mungkinkah Indonesia bersendikan Islam.  Menurut Munawir buku tersebut tidak mengemukakan jawaban, tetapi hanya memunculkan problem.  Dalam pencarian berikutnya ia juga menulis tentang masalah tersebut, yang kemudian menjadi buku Islam dan Tata Negara.  Dari hasil penelitiannya, ia berpendapat bahwa negara Indonesia bukan negara agama, karena untuk negara agama harus ada tiga syarat, yaitu:
1. Negara mempunyai agama resmi atau agama negara
2. Hukum berdasarkan kitab suci dari agama resmi/agama negara;
3. Negara dipimpin oleh pimpinan agama atau tokoh agama.
Ketiga unsur ini tidak ada di Indonesia, negara Indonesia bukan negara sekuler, karena pada suatu negara sekuler pemerintah tidak ikut campur dalam urusan agama masyarakat,  sementara di Indonesia  masalah agama di atur oleh negara dengan adanya Menteri Agama.[2]
Dari hasil penelitiannya, yang menurutnya, merupakan hasil penelitian akhir sementara  yang dikemukakan dalam bukunya Islam dan Tata Negara tersebut, Islam tidak mempunyai preferensi terhadap suatu sistem politik tertentu atau tidak ada konsep baku politik Islam, yang ada hanya seperangkat tata nilai etika kenegaraan, karena dalam al-Quran dan al-hadis tidak ada aturan yang menjelaskan bagaimana seharusnya bentuk negara dalam Islam.  Bahkan tidak ada satu nash yang secara tegas menyebutkan tentang upaya pembentukan negara.  Di samping itu, dalam sejarah Islam tidak ada contoh yang dapat dijadikan acuan mengenai bentuk dan sistem pemerintahan Islam.[3]
Munawir tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan, seperti yang diartikulasikan oleh Abu al-A’la al-Maududi.[4] Menanggapi pendapat al-Maududi tersebut Munawir mengemukakan bahwa, Islam tidak menawarkan mekanisme baku seperti dalam mengatur suksesi atau peralihan kekuasaan yang merupakan urusan penting dalam membangun teori administrasi politik sebuah negara.[5]
Munawir juga tidak sependapat dengan Ali Abd al-Raziq yang menganggap bahwa agama tidak ada hubungan dengan urusan kenegaraan, dan nabi Muhammad tidak pernah mendirikan negara Islam di Madinah, beliau hanya seorang Rasul.[6]  Menanggapi pendapat Ali Abd al-Raziq tersebut, Munawir mengemukakan bahwa hal tersebut bukan saja mengingkari kemungkinan adanya hubungan antara agama dan negara, tetapi juga menolak secara kategoris aspek normatif Islam dalam proses sosial politik dan mekanisme pemerintahan sebuah negara.[7]
Dari keterangan di atas, terlihat bahwa pemikiran politik Munawir merupakan sintesa dari pemikiran Abu al-A’la al-Maududi dan Ali Abd al-Raziq. Dapat dikatakan pemikirannya termasuk pada pemikir politik Islam yang menganggap agama dan negara berhubungan secara simbiotik.  Anggapan ini didasarkan pada paradigma yang dikemukakan oleh Din Syamsuddin, bahwa ada tiga paradigma hubungan antara agama dan negara, yaitu :
a. Agama dan negara tidak bisa dipisahkan
b. Agama dan Negara berhubungan secara simbiotik
c. Sekularistik, seperti yang dipahami oleh Ali Abd al-Raziq.
Yang terpenting, menurut Munawir, meskipun bukan negara Islam,  tetapi aspirasi umat Islam dapat tersalurkan oleh pemerintah. Dengan arti walaupun secara legalitas formal negara Indonesia tidak dalam bentuk negara Islam, tetapi nilai-nilai Islam mempengaruhi dan dapat dilaksanakan.  Dengan kata lain, meskipun negara bukan negara Islam tetapi ajaran Islam dapat tumbuh dan berkembang.
Apalagi dalam kenyataan sejarah, politik Islam di Indonesia sejak orde lama sampai orde baru sampai dekade 70 an dianggap sebagai pesaing kekuasaan dan dicurigai oleh pemerintah, seperti yang terjadi dalam peristiwa Gerakan Darul Islam dengan negara Islamnya pada tahun 1949.[8] Pada Masa Orde Baru dengan ikut campurnya pemerintah mengatur Parmusi (Partai Muslim Indonesia) pasca Masyumi, dengan tidak adanya izin kepala negara kepada orang-orang Masyumi untuk memimpin Parmusi tersebut. Oleh sebab itu, pemikir Islam baru lebih menekankan substansi bukan kepada legalitas formalnya. 

2.      Reaktualisi Ajaran Islam
Gagasan reaktualisasi ajaran Islam, sejak tahun 1985,[9] sebetulnya telah dilontarkan oleh Munawir kepada masyarakat Islam Indonesia dalam beberapa kesempatan di dalam atau di luar negeri.[10] Akan tetapi, gagasan tersebut mendapatkan reaksi yang keras setelah disampaikan di Forum Paramadina, berupa munculnya polemik dari kelompok yang pro dan yang kontra.  Bahkan dari polemik yang berkembang, kelompok kontra lebih banyak dari yang pro dan kritikannya dikemukakan secara keras dan tajam.[11]
Ide yang mengundang kontroversi tersebut adalah dalam masalah kewarisan tentang formulasi 2:1 dalam al-qur’an, bagaimana kalau formulasi  tersebut menjadi 1:1 untuk umat Islam di Indonesia.  Munawir melihat bahwa kategori hukum yang berhubungan dengan ibadah murni, hampir tidak ada  ruang campur tangan penalaran.  Akan tetapi kategori hukum yang berhubungan dengan kemasyarakatan terbuka penalaran intelektual dalam mencari cara pelaksanaan dengan menjadikan kepentingan masyarakat dan prinsip keadilan sebagai dasar pertimbangan dan tolak ukur utama.
Dari hasil pengamatan Munawir di berbagai tempat, umat Islam Indonesia masih mempunyai sikap mendua dalam beragama. Adanya keinginan untuk melaksanakan pembagian warisan yang menurut al-Qur’an anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali bagian perempuan di satu sisi, dan di satu sisi dengan adanya pemberian hibah merupakan indikasi bahwa pembagian warisan secara Islam tidak adil. Tindakan sebagian umat Islam menempuh cara memberikan hibah kepada anak perempuan dan sebagian umat Islam -bahkan termasuk pemuka agama- membawa masalah warisannya kepada pengadilan negeri.[12] Sikap mendua dalam pengamalan agama ini dikhawatirkan umat Islam tidak mengakui kebenaran aturan Islam. Oleh sebab itu, perlu reaktualisasi ajaran Islam.
Kondisi masyarakat Islam yang seperti itulah yang mendorongnya untuk mengemukakan gagasan rektualisasi ajaran Islam tersebut. Ditambah dengan adanya proyek kompilasi hukum Islam tentang perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Sebagai Menteri Agama waktu itu, ia melihat bahwa moment ini tepat untuk mengemukakan gagasannya. Menurut Munawir, cukup banyak ayat al-Qur’an[13] mengandung petunjuk yang tidak relevan lagi dengan tahapan perkembangan peradaban dimana kita hidup sekarang.[14]  Untuk itu perlu dilakukan ijtihad agar hukum Islam yang diperlakukan adalah hukum Islam yang sesuai dengan sosial dan kultural Indonesia, yang berbeda dengan cultural Arab ketika al-Qur’an diturunkan. 
Perubahan situasi dan kondisi menurut Munawir, ikut berpengaruh terhadap penentuan hukum dengan alasan: 1.  Nash al-Qur’an tentang kemasyarakatan (bukan ibadah) diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi, misalnya tadarrujnya al-Qur’an dalam pengharaman khamar.  2.  Dalam al-Qur’an terdapat nasikh dan mansukh, yang dimansukhkan karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu. 
Di samping itu, Munawir juga merujuk pernyataan Abu Yusuf, bahwa nash sekalipun kalau dahulu dasarnya adat dan adat tersebut berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung di dalam nash tersebut.  Lebih jauh Munawir menyatakan, rujuklah nash langsung dengan memperhatikan asbab an-nuzul dan situasi masyarakat pada saat ayat dan hadis itu muncul. Apabila yang dirujuk kitab-kitab klasik, Munawir mendasarkan kepada kekhawatiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha bahwa kitab klasik tersebut ditulis sesuai kondisi dan situasi saat itu dan sesuai pula dengan taraf intelektual pada masa itu. Hal itu juga terlihat dari fatwa imam Syafi’i, yang mempunyai fatwa berbeda dalam masalah yang sama di wilayah yang berbeda (Irak dan Mesir), yang dikenal dengan istilah qaul al-qadim dan qaul al-jadid-nya.
Telah dikemukakan bahwa gagasan reaktualisasi Munawir mendapatkan kritikan yang keras dan tajam dari kelompok kontra. Misalnya Rifyal Ka’bah menulis dengan judul “Bawalah kepada Kami al-Qur’an yang Baru atau Gantilah”.[15] Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa reaktualisasi dengan pendekatan sosiologis tidak selalu relevan.  Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan dari kasus khusus untuk mengambil kesimpulan bahwa hukum waris bertentangan dengan rasa keadilan.[16] Kamaluddin Marzuki menulis dengan judul jangan sampai energi terbuang percuma.  Dalam tulisannya ia mempertanyakan apakah ada nasikh mansukh al-Qur’an dan hadis dengan ra’yu dan menyesuaikan situasi dengan Islam bukan mengislamkan, tetapi mengkondisikan Islam.[17] Di bawah judul “Reaktualisasi Memahami Kesadaran Hukum Masyarakat” dinyatakan bahwa pembagian waris sudah bersifat final dan tuntas, tidak ada peluang ijtihad.  Di bagian lain ia mengemukakan lemparkan jauh-jauh ambisi dan selera pribadi.[18]  
Menurut hemat penulis, kritikan tersebut di atas dikemukakan oleh kelompok kontra disebabkan karena Munawir mengadakan ijtihad terhadap ayat yang dianggap termasuk nash yang qath’i.  Ayat mawaris yang sudah rinci menurut ulama termasuk nash qath’i yang tidak dapat dilakukan ijtihad terhadapnya. Meskipun para ulama sebelumnya melakukan melakukan pembaruan pemikiran di bidang hukum, mereka tidak menyentuh hal yang sudah rinci diatur al-Qur’an, atau mungkin juga karena setting sosial masyarakat dan kultur mereka hampir sama dengan masyarakat pada masa itu, karena sebagian mereka berasal dari daerah sana. Sepertinya Munawir sama dengan al-Na’im dari Sudan yang juga menganggap ayat-ayat mawaris ini sebagai ayat yang mendeskriditkan wanita, sehingga harus ditinggalkan karena tidak sesuai dengan   prinsip umum keadilan dan persamaan.
Munawir memang mengakui ada nash yang qath’i dan zhanni, namun berbeda dengan ulama klasik, nash yang qath’i baginya adalah yang menyangkut ibadah mahdat, sedangkan nash yang menyangkut kemasyarakatan termasuk dalam kategori zhanni.
Menurut Munawir,  reaksi tajam tersebut disebabkan oleh 4 hal, yaitu: 1) tidak mengikuti ceramahnya secara utuh (parsial). 2) Kurang mengerti ilmu hukum Islam. 3) tidak mempunyai kesadaran tentang realitas yang hidup di tengah masyarakat. 4) sikap apriori yang diwarnai oleh prasangka buruk.[19]
Menghadapi kritikan yang dikemukakan oleh kelompok kontra tersebut, Munawir menyatakan bahwa kalau umat Islam harus menerapkan semua ketentuan yang ada dalam al-Qur’an, bagaimana dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan perbudakan. Bagaimana pula dengan tindakan Umar bin Khattab yang tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf -yang pada masa Nabi mendapatkan bagian- apakah berarti Umar juga tidak mengamalkan al-Qur’an.
Menurut Munawir, sangat berbahaya memahami ayat secara teks tanpa mengaitkan dengan kondisi, situasi dan latar belakang turunnya al-Qur’an.[20] Ia juga menambahkan bahwa penafsiran  seperti  yang dilakukannya, sudah banyak dilakukan oleh ulama-ulama sebelumnya, seperti Abu Yusuf dari Ahnaf, Ibn al-Qayyim dari mazhab Hanbali dan al-Maraghi, yang membenarkan terjadinya perubahan atau pergeseran hukum karena perubahan zaman, bahkan tokoh ini ikut mempengaruhi pemikirannya.[21]
Menurut Bahtiar Effendi, reaktualisasi Munawir bukan pada waris tetapi pada premis “terdapat sejumlah stipulasi al-Qur’an yang mengatur masalah sosial tidak sesuai dengan masa kini”[22]  Hal tersebut tepat sekali, karena gugatan Munawir terhadap formulasi 2:1 hanya sebagian dari contoh.  Menurut analisis penulis, sebenarnya Munawir menganut  العام يراد به الخاص [23]  Hal ini terlihat dari pertimbangannya mengenai ayat atau hadis yang tidak untuk saat sekarang, karena ketika ayat diturunkan atau hadis dimunculkan sesuai dengan situasi sosial, budaya, tingkat kemajuan peradaban dan intelektual masyarakat waktu itu.[24]
Lebih jauh Munawir menyatakan, jika terjadi pertentangan antara manqul (nash) dengan nalar, diambil yang sesuai dengan nalar seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh.  Abduh juga mengajak umat Islam agar memakai metode pendahulu untuk menggali sumber asli sehingga terbebas dari taqlid. Itulah yang saya lakukan, kata Munawir.[25]
Apabila dikaitkan antara kedua pokok pemikirannya, benang merahnya adalah upaya Munawir untuk menghadirkan Islam yang cocok untuk umat Islam di Indonesia yang setting sosial masyarakatnya berbeda dengan setting sosial masyarakat Arab. Oleh sebab itu, umat Islam agar melakukan ijtihad secara murni dan jujur, seperti yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab, sehingga Islam bisa lebih responsif terhadap keperluan lokal temporal atau sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan.





















BAB III
PENUTUP.
A.                Kesimpulan
Dari hasil penelitian terhadap pemikiran Munawir Syadzali, terlihat bahwa ia mengungkapkan pemikirannya tentang hubungan agama dan negara didasarkan oleh realitas sosial masyarakat Indonesia yang ingin menerapkan ajaran Islam disatu sisi dan ketidakjelasan konsep Islam disisi lain.  Menurutnya suatu negara legalitas formalnya tidak perlu negara Islam, yang penting substansinya dalam negara tersebut, agama diakui dan bebas tumbuh dan berkembang.  Karena tidak ada preferensi tentang bentuk negara dalam Islam, yang ada hanya serangkaian nilai tentang etika kenegaraan.
Sementara pada masalah reaktualisasi ajaran Islam yang terfokus pada formula 1:2 dalam pembagian warisan, menurutnya tidak cocok untuk situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang mempunyai kultur yang berbeda dengan masyarakat Arab.  Oleh sebab itu, umat Islam Indonesia harus melakukan ijtihad dalam masalah kemasyarakatan agar Islam lebih responsif terhadap perkembangan zaman.

B.                 Saran-saran
Mengetahui keterbatasan ilmu dan wawasan kami sebagai penyusun, diharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen pengampu maupun dari teman-teman sesama akademisi yang membaca penyusunan makalah ini.


[1] Munawir, Azas Pancasila Aspirasi Umat Islam dan Masa Depan Bangsa dalam Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta, UI Press,1993, h. 39.   
[2] Munawir Syadzali, Negara Pancasila Bukan Negara Agama dan Bukan Negara Sekuler (ceramahpada Pekan Orientasi Manggala BP7 12 Juni 1990, dalam Islam realitas Baru, op.cit., h. 80.  
[3] Munawir Syadzali,  Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemilkiran, Jakarta: UI Press, 1990, h. 97.
[4] Abu al-A’la al-Maududi, Political Theory of Islam, dalam Khursyid Ahmad, Islamic Law and Constitution, Lahore, 1967, h. 243.
[5] Munawir, op. cit., h. 175.
[6]Ali ‘Abd al-Raziq, Islam wa Ushul al-Hukm, Beirut, 1966, h. 42.
[7] Munawir, op.cit., h. 97
[8]Fachri Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990, h. 83 dan BJ Bolland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, Jakarta, Grafiti Press, 1985, h. 57-66.
[9] Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta, UI Press, 1993, h. 16 dan Munawir, Dari Lembah Kemiskinan, M. Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, Jakarta, Paramadina, 1995, h. 87.  
[10]Ceramah dengan tema tersebut disampaikan pada Seminar Hukum Islam di IAIN Padang, Bahtsul Masail Syuriah NU Jawa Timur di Tambak Beras, Seminar Kompilasi Hukum Islam oleh Muhammadiyah Yogyakarta, Penataran pimpinan pemuda Anshar seluruh Indonesia di Malang, dan dua kali latihan kader tarjih Muhammadiyah di Yogyakarta.  Ceramah yang sama juga telah disampaikan kepada mahasiswa Indonesia di Kairo, pada forum kodifikasi hukum Islam yang dilaksanakan oleh South Asian Shariah Association di Kolombo, dan pada jamuan makan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pengajaran Malaisia di Kuala Lumpur. Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam dalam Iqbal Abd Rauf Saimina, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, , Jakarta, Pustaka Pnjimas, 1988, h. 1.
[11]Misalnya kritikan yang dikemukakan oleh Rifyal Ka’bah, Ali Yafi, Ahmad Azhar Basyir dll.  Tulisan lengkapnya dapat dilihat pada majalah Panji Masyarakat edisi Juli - Desember 1987.  Sebagian tulisan dapat dilihat dalam M. Wahyuni Nafis, dkk (ed.) , op.cit., h. 251-333.
[12] Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta, Paramadina, 1997, h. 7 dan M. Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), op.cit., h. 17-18.
[13] Misalnya QS. al-Nisa’/4:3, al-Mu’min/23:6, al-Ahzab/ 33:32, dan al-Ma’arij/70: 30, seperti yang dikemukakannya dalam M.Wahyni Nafis, dkk. ibid., h. 120-121.
[14] Munawir Syadzali, “Ijtihad dan Kemashlahatan Umat” dalam Haidar Baqir dan Syafiq Bakri (ed.), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung, Mizan, 1996, h. 117.
[15] Majalah Panji Masyarakat no. 548 tanggal 11- 20 Agustus 1987, h. 50-54.
[16] Majalah Panji Masyarakat no. 552, tanggal 21 - 30 September 1987, h. 66-67.
[17] Majalah Panji Masyarakat no. 553, tanggal 1-10 Oktober 1987, h. 41-43.
[18] Majalah Panji Masyarakat no. 554 tanggal 11-20 Oktober 1997, h. 59-63.
[19] Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, op.cit., h. 17.
[20] Munawir Syadzali, Ijtihad dan Kemashlahatan Umat, dalam Haidar Baqir dan Syafiq Bakri (ed.), op.cit., h. 120.
[21] Munawir Syadzali, Pembangunan Hukum dan Perkembangan Fiqh di indonesia, dalam Islam Realitas Baru, op.cit., h. 60 dan Pokok Pikiran Hukum Islam Prof. K.H. Ibrahim Husen, LML dalam  Munawir Syadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, Jakarta, UI Press, 1994, h. 60.
[22] Bahtiar Effendi , Islam dan Negara di Indonesia, Munawir Syadzali dan Pengembangan Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam, dalam Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), op.cit., h. 401.  Tulisan ini dengan judul yang sama dimuat dalam Studia Islamica, vol.II  no. 2, 1995.
[23] Meskipun ayat dan hadis tersebut lafalnya berlaku untuk umum tetpi diberlakukan khusus hanya terbatas pada situasi dan kondisi yang sama dengan situasi al-Qur’an diturunkan atau hadis dimunculkan.
[24] Munawir Syadzali, dalam Haidar Baqir dan Syafiq Bakri (ed.), op.cit., h. 117-118.
[25] Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran islam dalam Konteks Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan ( Orasi Ilmiah waktu Penerimaan Doktor Honoris Causa di IAIN Jakarta, 1994, dalam Bunga Rampai, op.cit., h. 44.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar