BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah
fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya tebagi
dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk
masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap
individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan
untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat
horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai
hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam
yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah. Dalam pembahasan ini pemakalah
akan mencoba untuk membahas cabang-cabang kaidah tentang “Al-Haajatu
tandzilu mandzilatad dharuuratu” dan” Adh-Dhararul
asyaddu yudzaa lu bid dhararil akhaffi” . Menurut hemat penulis, bahwa kaidah ini
sangat penting untuk dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang
keadaan dharurat (genting/bahaya)
Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep
kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa kepada kita,
dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Dan
telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah adanya beban dan kesulitan, maka
kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga
terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Alloh dan menjauhi
larangan-Nya, termasuk didalamnya adalah aqidah dan ibadah
B. Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian“Al-Haajatu tandzilu
mandzilatad dharuuratu” dan” Adh-Dhararul asyaddu
yudzaa lu bid dhararil akhaffi” ?
2. Dasar
atau Sumber kaidah “Al-Haajatu
tandzilu mandzilatad dharuuratu” dan” Adh-Dhararul
asyaddu yudzaa lu bid dhararil akhaffi” ?
3. Kaidah-kaidah yang
berkaitan “Al-Haajatu tandzilu
mandzilatad dharuuratu” dan” Adh-Dhararul asyaddu
yudzaa lu bid dhararil akhaffi” ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kaidah
1.
ا لحَا جَةُ تَنْزِ لَ مَنْزِ لَةَ
الضَّرُ ورَةِ عَا مَةً
“Al-Haajatu
tandzilu mandzilatad dharuuratu”
(kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan dharurat).
Yang disebutkan dalam kaedah di atas
adalah suatu yang dilarang oleh syari’at. Sedangkan yang dimaksud dengan “dhoruroh”
atau darurat adalah suatu perkara yang jika seseorang meninggalkannya, maka ia
akan tertimpa bahaya dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Inilah yang
dimaksud dengan darurat menurut pendapat yang tepat. Sedangkan ada pula istilah
“hajat”, yang dimaksud adalah sesuatu yang bila ditinggalkan, maka bisa
mendatangkan bahaya, akan tetapi masih bisa diganti dengan yang lain.
Menurut kaedah ini, kebutuhan yang sangat mendesak, dapat
disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan itu bersifat umum,
niscaya berubah menjadi darurat.[1]Kaidah
ini juga mnunjukan bahwasanya keringanan tidak hanya berlaku bagi kemadaratan
akan tetapi juga berlaku pada kebutuhan baik umum maupun khusus. Sehingga dapat
dikatakan keringanan diperbolehkan atas kebutuhan sebagaimana keringanan atas
kemadaratan, oleh karenanay hajat hampir sama kedudukannya dengan madarat.[2]
Al-hajah adalah
suatu keadaan yang menghendaki agar seseorang melakukan suatu perbuatan yang
tidak menurut hukum yang seharusnya berlaku, karena adanya kesukaran dan
kesulitan. Perbedaan antara al-dharurat
dan al-hajah adalah : [3]
Pertama,
di dalam kondisi al-dharurat, ada bahaya yang muncul. Sedangkan dalam kondisi
al-hajah, yang ada hanyalah kesulitan atau kesukaran dalam pelaksanaan hukum.
Kedua,
di dalam al-dharurat, yang dilanggar perbuatan ayang haram li dzatihi seperti
makan daging babi. Sedangkan dalam al-hajah, yang dilanggar adalah haram li
ghayrihi. Oleh karena itu ada dhabith yang menyebutkan bahwa:
“ apa yang diharamkan karena zatnya,
dibolehkan karena darurat dan apa yang diharamkan karena yang lainnya
dibolehkan karena adanya al-hajah”
Karena
kebolehan melanggar yang haram inilah, kedudukan al-hajah ditempatkan pada
posisi al-dharurat.
Ketiga, Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat)
tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi
manusia. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi
manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa,
nasab, harta serta kehormatan manusia.
Perbedaan Laian Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang
menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak
akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan, Darurat adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan
manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan.
Sedang dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan
keringanan masyaqqot dan penghapusan madarat akan mendatangkan kemaslahatan
bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai
perbedaan
Contoh
lain tentang al-hajah adalah: dalam jual beli, objek yang dijual telah wujud.
Akan tetapi, demi untuk kelancaran transaksi boleh menjual barang yang belum
wujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada. Inilah yang disebut dengan
bae al-salam (jual beli saham). Uangnya diserahkan dahulu baru beberapa waktu
kemudian barangnya diserahkan. Demikian pula halnya dalam jialah (perpindahan
utang), pada prinsipnya, yang harus membayar utang adalah debitor, akan tetapi,
demi kelancaran pembayaran utang, debitor boleh memindahkan utangnya kepada
orang lain.
2.
الضَّرَرُ
الاشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِالاخَفِّ
“Adh-Dhararul asyaddu yudzaa lu bid dhararil akhaffi” (kemudhoratan yang
lebih berat dihilangkan dengan kemudhoratan yang lebih ringan)
Apabila bertembung
dua kemudaratan serentak dalam satu masa maka hendaklah dihilangkan kemudaratan
itu dengan melakukan perkara yang membawa kepada mudarat/ kerosakan yang lebih
kecil.
Maksudnya
apabila kita bertembung dengan situasi ini, maka kena pilih yang mana satu yang
jikalau kita buat maka kerosakan yang timbul lebih kecil berbanding kalau kita
buat yang satu lagi.
Contoh yang
jelas apabila berlaku penyeksaan oleh kafir Quraisy (Umayah bin Khalaf) kepada
keluarga Amar bin Yasir (bapanya Yasir dan ibunya Sumayyah). Mereka semua
diseksa oleh Umayah bin Khalaf. Apabila Umayah menyuruh mereka kembali kepada
agama asal mereka menyembah berhala, Yasir dan Sumayyah tetap berpegang teguh
sehingga syahid. Tetapi Amar bin Yasir oleh kerana seksaan yang berat diterimanya
dia terpaksa mengaku kembali kepada kekufuran (hakikat sebenarnya beliau tetap
kukuh imannya hanya lidahnya sahaja yang melafaskan kekufuran), apabila sahabat
yang lain memberitahu Nabi SAW bahawa Amar telah murtad lantas dijawab oleh
baginda bahawa iman Amar tetap kukuh dan beliau ucapkan perkataan tersebut
adalah kerana terpaksa (darurat).
Dalam kehidupan harian kita sering akan bertembung dengan
dua situasi yang mana kedua-duanya adalah boleh mendatangkan mudarat maka Islam
membenarkan kita pilih mudarat yang lebih kecil berbanding mudarat yang besar.
Atau pun kita berhadapan dengan situasi jika kita buat mendatangkan mudarat
kecil sedangkan jika kita tinggalkan akan mendatangkan mudarat yang lebih
besar.
Contoh lain : organisasi Islam terlibat dengan pilihanraya demokrasi
adalah mudarat yang kecil (terpaksa berkempen dan bertembung dengan umat Islam
yang berlainan parti - wujud sedikit pergeseran dan perbalahan) sedangkan
meninggalkan / memboikot pilihanraya adalah mudarat yang besar kerana
membiarkan negara di kuasai oleh golongan sekular yang akan menyalahgunakan
harta negara dan menzalimi rakyat.
B.
Dasar atau Sumber Hukum Kaidah
Firman Allah SWT:
...إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ...
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”(al-Qashash: 77)
...وَلَا
تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا...
“janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan.”(al-Baqarah: 231)
Hadits Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
“Tidak boleh membuat kerusakan pada
diri sendiri serta kerusakan pada orang lain.”
(HR. Ahmad dan
Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ
بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ
عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣
Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang
C.
Kaidah-Kaidah yang Berkaitan
1.
إذَا تَعَارَضَ مَفْسِدَتاَنِ
رُوْعِيَ أعْظَمُهُمَا بِإرْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
"Bila harus
memilih antara dua mudarat maka pilih yang paling ringan"
2.
إذا تعارض مفسدتان
روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
“apabila ada dua mafsadah
bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih berat mudaratnya dengan
mengerjakan yang lebih ringan madharatnya.”
Maksud dari kaidah ini manakala suatu ketika
datang secara bersama dua mafsadat atau lebih, maka harus diseleksi mana yang
lebih besar dan mana yang lebih ringan madharatnya. Setelah diketahui, maka
yang mudharatnya lebih besar harus ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih
ringan mudharatnya.[4]
3.
Setiap tindakan hukum yang membawa kemasfadatan atau menolak
kemaslahatan adalah dilarang.
كُلُّ تَصَرَّفٍ
جَرَّ فَسَادً اَوْ دَفْعَ صَلاَحًا مَنْهِى عَنْهُ
Contohnya :
menghambur-hamburkan harta tanpa ada manfaatnya, melakukan akad riba,
perjudian, pornografi, pornoaksi, kesepakatan untuk melakukan perampokan dan
lainya.
4. كلّ رُخْصَةٍ أُ بِيحَتْ للضَّرُ و رَتِ وَالحَا جَةِ لَمْ
تُسْتَبَحْ قبل وُ جو دِ هاَ
“setiap keringan
yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan
sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah”
Contonya
: memakan makanan haram, baru bias dilaksanakan setelah terjadinya kondisi
darurat atau al-hajah, misalnya tidak ada makanan lain yang halal.
Dhabit
diatas ditemukan dalam kitab al-isyaraf karta Abd al-wahab al maliki. Sedangkan
dalam kitab al-Asybah wa al-nazha’ir ada dhabit lainnya, yaitu:
5. ا لحَا جة أِذَا عا مَت كالضَّرُورةِ
“Al-hajah apabila bersifat umum adalah seperti
darurat”
Pengertian
“amah” atau umum adalah kebutuhan tersebut meliputi seluruh manusia. Sedangkan
pengertian “khashshah” adalah kebutuhan tersebut bagi satu golongan tertentu
atau daerah tertentu, bukan untuk orang perorang. Contoh lain tentang al-hajah
adalah jual beli valas (jual beli mata uang) baik transaksi forward, swap
maupun option, hukumnya haram. Akan tetapi karena kebutuhan transaksi spot,
yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas untuk penyerahan pada saat itu,
kontan (over the counter), maka hukumnya boleh. Karena orang yang keluar negeri
membutuhkan uang asing untuk hidup di luar negeri. Ini yang dilakukan oleh
money changer, bukan jual beli yang valas yang mengandung unsur maisir
(perjudian).
6.
Mengambil yang
mudaratnya yang lebih ringan.
الاخْذُ
بِاَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
Dilaksanakannya
kemudharatan yang lebih khusus untuk menolak kemudharatan yang umum.
يُحْتَمَلُ الضَّرارُ الخَاصِ
لِدَفْعِ الضَّرَرِ العَامِ
Contohnya :
apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan al-qur’an dan hadits
dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali digaji, maka boleh menggajinya.
7.
Kemudharatan
itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.
الضَّرَرُلايَكُونُ قَدِيْمًا
Maksudnya
adalah kemudahan itu harus dihilangkandan tidak boleh dibiarkan terus
berlangsungdengan alasan kemudharatan tersebut telah ada sejak dulu. Contohnya :
air mengalir ke jalan raya yang sudah lama terjadi, maka air tersebut harus
dialirkan ketempat lain, singkatnya, meskipun sudah lama terjadi, kemudharatan
tetap harus dihilangkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
“Al-Haajatu
Tandzilu Mandzilatad Dharuuratu” Menurut kaedah ini, kebutuhan yang sangat mendesak,
dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan itu bersifat
umum, niscaya berubah menjadi darurat
” Adh-Dhararul Asyaddu Yudzaa Lu Bid
Dhararil Akhaffi” yaitu, Apabila bertembung dua kemudaratan serentak dalam
satu masa maka hendaklah dihilangkan kemudaratan itu dengan melakukan perkara
yang membawa kepada mudarat/ kerosakan yang lebih kecil
keduaya merupakan suatu kaidah
tentang darurat yang bersumber dari Al qur’an maupun hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli. 2007. Kaidah-Kaidah
Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta.
Prenada Media Group.
Musbikin, Imam. 2001. Qawa’id
Al-Fiqhiyah. Jakarata. PT. RajaGrafindo Perseda.
Usman, Muchklis. 2002. Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah (Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam). Jakarta.
PT. Raja Grafindo Persada.
[2] Muchklis Usman,
Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum
Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 139
[3] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Prenada Media Group, 2007, hlm 76-77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar