BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih yang ada
dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua
kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah
individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu
dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk
menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal
antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai
hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam
yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah. Dalam pembahasan ini pemakalah
akan mencoba untuk membahas cabang-cabang kaidah Alyaqin La Yazulu Bisyakki.
Menurut hemat penulis, bahwa kaidah ini sangat penting untuk dibahas karena
merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan asy-syakk
Kaidah ini menghantarkan
kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang
kala menimpa kepada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan
menolak keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah
adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum
secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan
perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, termasuk didalamnya adalah aqidah dan
ibadah
b. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian kaidah Al-Yaqiinuu laa yudzaalu bish shakki?
2. Apa
dalil kaidah Al-Yaqiinuu laa yudzaalu bish shakki?
3. Bagaimana contoh penerapan macam-macam kaidah Al-Yaqiinuu laa
yudzaalu bish shakk?
c. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian kaidah Al-Yaqiinuu laa yudzaalu bish shakki.
2. Untuk mengetahui dalil kaidah Al-Yaqiinuu laa
yudzaalu bish shakki.
3. Untuk mengetahui contoh penerapan macam-macam kaidah Al-Yaqiinuu laa
yudzaalu bish shakk.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
Artinya: sesuatu yang sudah yakin tidak akan
dapat dihilangkan dengan keragu-raguan.
Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak. Al-Yaqin
menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan Asy-Syakk bisa diartikan sesuatu yang
membingungkan.
Secara
etimologis, yakin adalah sebuah ilmu (pengertahuan) yang tidak ada lagi
keraguan. Pada asalnya, yakin berarti al-istiqrar (sesuatu yang menetap),
seperti kalimat yaqin al-mau fi haudi:iza istaqrara (air menetap
ditelaga). Kata yaqin dalam kalimat ini artinya menetap. Menurut ibnu Manzur
(w.711 H) dalam kamusnya Lisan al-Arab, yakin adalah sebuah ilmu
(pengetahuan), sesuatu yang dapat menjauhkan keraguan, dan sesuatu yang
nyata(realistis);yakin kebalikan dari syakk, dan syakk lawanya yakin. Menurut
jauhari, yakin adalah sebuah ilmu pengetahuan dan hilangnya keraguan.
a. Secara
terminologis, yakin adalah keyakinan yang pasti, kokoh/teguh, dan sesuai dengan
kenyataan realistis. Definisi ini mengemukakan tiga indicator yakin, yaitu
pasti(al-jazim), kokoh/teguh(al-stabit0 dan sesuai dengan kenyataan/realistis
(al-mutabiq lil waqi). Indikator pertama yaitu kepastian(al-jazim), dapat
mengeluarkan sesuatu yang masih dugaan kuat (zann atau galabah al-zann).
Sesuatu yang masih dugaan kuat(zann) tidak masuk kategori yakin. Indikator
kedua, yaitu kekokohan/keteguhan(al-tsabit), dapat mengeluarkan I’tiqad
(keyakinan) seorang yang taklid (muqallid)terhadap kebenaran. Hal ini karena
I’tiqad(keyakinan) seorang yang taklid (muqallid) tidak berdasarkan kepada
argumentasi, sehingga rentan untuk hilang atau berubah. Dengan demikian,
kondisi seperti itu tidak layak disebut yakin. Indikator
ketiga, yaitu sesuai dengan
kenyataan(realitas), dapat mengeluarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan
kenyataan, yaitu al-jahl(ketidaktahuan).[1]
Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu
(meragukan) antara ada atau tidak ada”.
Maksudnya dari pengertian
tersebut ialah semua hukum yang sudah berlandaskan pada suatu keyakinan itu,
tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul kemudian, sebab
rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan, tidak
akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya.
Dengan demikian, maka yang
dimaksud dengan kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada suatu obyek
yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah tercapai pada kadar ukuran
pengetahuan yang mantap atau baru sekedar dugaan kuat (asumtif/dzan). Maka yang
tidak dianggap suatu kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada
saat pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukan kedalam
kategori yakin. Hal-hal
yang masih dalam keragauan atau masih menjadi tanda Tanya tidak dapat
disejajarkan dengan suatu yang sudah diyakinkan.[2]
B. Dalil Kaidah الْيَقِينُ لَا
يُزَالُ بِالشَّكِّ
وَمَا
يَتَّبِعُ أَكۡثَرُهُمۡ إِلَّا ظَنًّاۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ
شَيًۡٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمُۢ بِمَا يَفۡعَلُونَ ٣٦
36. Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka kerjakan
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا, فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ
مِنْهُ شَيْءٌ, أَمْ لَا? فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ
صَوْتًا, أَوْ يَجِدَ رِيحًا أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mendapati ada terasa sesuatu
di perutnya, lalu ia ragu-ragu apakah keluar sesuatu ataukah tidak, maka
janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.”
Diriwayatkan oleh Muslim. (HR. Muslim no. 362).
C. Macam-macam Kaidah Cabang Al
Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak Beserta Contoh Penerapannya
Dari kaidah Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak diatas
kemudian dibagi menjadi kaidah-kaidah cabangnya yakni :
. ماَ لَم يَكن ما يغيره علَى
مَاكَانَ الْأصْلُ بَقاءُ مَاكَان (Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama
tidak ada hal yang merubah) contohnya
kewjiban-kewajiban suami istri bisa hilang lagi karena ada perceraian.
Kaidah ini semakna pula dengan
مَا ثَبَتَ بِزَمَنِ يُحْكَمُ
ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ (Apa yang
ditetapkan berdasrkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya
waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya)
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti sebelumnya, harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut tidak bisa diubah, selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.[3]
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti sebelumnya, harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut tidak bisa diubah, selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.[3]
Misalnya: seseorang yang pergi
jauh, tidak ada kabar beritanya maka orang tersebut tetap dianggap hidup sampai
ada bukti yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal. Dalam hal ini, yang
meyakin bahwa waktu pergi dia dalam keadaan hidup, maka sekarang pun masih
dianggap hidup. Oleh karena itu, harta warisan tidak boleh dibagikan dahulu.
Istri yang ditinggalkan masih tetap dianggap sebagai istrinya. Artinya masih
berhak terhadap nafkah dan hak-hak lainnya sebagai istri.
. لْأَصْلُ بَرَءَةُ الذِمَّةِ (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
Pada dasarnya manusia
dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik hal Allah maupun hak Adami. Setelah
dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
Misal :
Misal :
1. Anak kecil bebas dari tanggung
jawab melakukan kewajiban sampai ia baligh.
2. Tidak ada hak dan kewajiban
antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai ada bukti adanya akad
nikah yang sah.
الْأَصْلُ
الْعَدَمُ (Hukum asal adalah ketiadaan)
Kaidah ini dapat lebih jelas dengan kaidah الْأَصْلُ فِي الصِّفَاتِ الْعأرِضَةِ الْعَدَمُ (hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada)
Misal :Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat iti tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual.
Kaidah ini dapat lebih jelas dengan kaidah الْأَصْلُ فِي الصِّفَاتِ الْعأرِضَةِ الْعَدَمُ (hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada)
Misal :Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat iti tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual.
3. الْأَصْلُ
فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَب الزَّمَأنِ (Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)
4. Kaidah diatas terdapat dalam
kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi juga
terdapat الْأَصْلُ
إِضَافَةُ الْحا دِثِ إِلَى أقْرَبَ أَوْقَاتِهِ (Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu
yang lebih dekat dengannya) secara substansi sama saja.
Apabila terjadi keraguan
karena perbadaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah
menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang
paling dekat yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali ada bukti lain yang
meyakinkan bahawa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh. Misal :
Seorang wanita sedang
mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalm keadaan
hidup dan sehat. Selang bebarapa bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalnya
bayi itu tidak disandarkan keapada pemukulan yang terjadi pada waktu yang lama,
tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waku paling dekat dengan kemtiannya.
. الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى
يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ (Hukum asal
segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)
Misal :
Misal :
Apabila ada binatang yang
belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
Dikalangan madzhab Hanafi ada
pula الْأَصْلُ
فِي الْأَشْيَاءِ الْحَظَرُ (Hukum
asal segala sesuatu adalah laranganharam)
Kaidah ini hanya berlaku untuk
bidang fiqh mu’amalah, sedangkan untuk fiqh ibadah digunakan kaidah:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْبُطْلَانُ
حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ (Hukum asal ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil
yang memerintahkannya), kaidah ini semakna dengan لَاحُكْمُ لِلْأَفْعَالِ قَبْل وُرُوْدِ الشَّرْعِ (Tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan
sampai datangnya syari’ah) dan kaidah الْمَشْكُوْكُ فِي وُجُوْبِهِ لَا يَجِبُ فِعْلُهُ (Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib
dilakukan).
. الْيَقِينُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ (Apa yang yakin bisa hilang karena adanya
bukti yang meyakinkan pula) Misal :
Kita berpraduka tidak bersalah
kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap sedang
melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.
Si A berhutang kepada si B,
tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar utangnya kepada si B,
misalnya ada kuitansi yang ditandatangani si B yang menyatakan bahwa hutang A
sudah lunas. Maka, si A yang tadinya berhutang, sekarang sudah bebas dari
hutangnya.
. أَنْ مَاثَبَتَ بيَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ إِلَّا بيَقِيْنٍ (Apa yang ditetapkan atas dasar
keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
Thawaf ditetapkan dengan dasar
dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran.Kemudian dalam keadaan thowaf,
seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang
meyakinkan adalah jumlah yang kelima. Jadi dalam hal yang berhubungan dengan
bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang
meyakinkan.
. الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الحَقِيْقَةُ (Hukum asal dari suatu kalimat adalah
arti yang sebenarnya)
Kaidah tersebut lebih dekat
dimasukkan ke dalam kelompok kaidah ushul daripada kaidah fiqh. Alasannya,
kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan kaidah-kaidah bahasa
berhubungan erat dengan arti yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Misal :
Apabila seseorang
berkata:”Saya mau mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Ahmad”. Maka anak
dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan
bukan pula cucu. Demikian pula kata-kata hibah, jual beli, sewa-menyewa, gadai
dan lain-lainnya di dalam akad harus diartikan dahulu dengan arti kata yang
sebenarnya, bukan arti kiasannya.
الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ (Hukum asal bersenggama adalah haram)
Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan persetubuhan (senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan persetubuhan dengan perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa menghalalkannya, yakni pernikahan. Misal :
Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan persetubuhan (senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan persetubuhan dengan perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa menghalalkannya, yakni pernikahan. Misal :
Arfan ragu mengenai sah
tidaknya akad nikahnya dengan Ani. Karena Arfan meragukan salah satu dari
syarat nikah, maka ia tidak boleh berhubungan badan dengan Ani. Sebab, hukum
asal melakukan hubungan badan adalah haram.
Qadhi Abd al-Wahhab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubuingan dengan “Al Yaqin la Yuzal bi al-Syak”, yakni sebagai berikut :
10. لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ (Tidak dianggap )diakui(, persangkaan yang jelas salahnya)
Qadhi Abd al-Wahhab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubuingan dengan “Al Yaqin la Yuzal bi al-Syak”, yakni sebagai berikut :
10. لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ (Tidak dianggap )diakui(, persangkaan yang jelas salahnya)
Apabila seorang debitor telah
membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor atau
penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum
dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta
dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pembayarannya dilakukan atas dasar
prasangka yang jelas salahnya.
لَا عِبْرَةُ
لِلتَّوَهُّمِ (Tidak diakui adanya waham
(kira-kira)
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan dalam wahann, yangs alah itu zatnya. Apabila seseorang meningal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris yang dikira-kira.
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan dalam wahann, yangs alah itu zatnya. Apabila seseorang meningal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris yang dikira-kira.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak
(Keyakinan tidak bisa dihapus dengan keraguan) memiliki dua kata dasar yang
utama yakni al-Yaqin yang berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan
didalamnya, sedangkan al-Syakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.
Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi
al-Syak Beserta Contoh Penerapannya:
. ماَ لَم يَكن ما يغيره علَى
مَاكَانَ الْأصْلُ بَقاءُ مَاكَان (Hukum asal
itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal yang merubah)
. لْأَصْلُ بَرَءَةُ الذِمَّةِ (Hukum asal
adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
الْأَصْلُ الْعَدَمُ (Hukum asal adalah ketiadaan)
. الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ
بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ (Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang
terdekat)
. الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى
يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ (Hukum asal
segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)
. الْيَقِينُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ (Apa yang yakin bisa hilang karena
adanya bukti yang meyakinkan pula)
. أَنْ مَاثَبَتَ بيَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ إِلَّا بيَقِيْنٍ (Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali
dengan keyakinan lagi)
. الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الحَقِيْقَةُ (Hukum asal
dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
. الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ (Hukum asal
bersenggama adalah haram)
. لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ (Tidak dianggap (diakui), persangkaan
yang jelas salahnya)
. لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ (Tidak diakui adanya waham(kira-kira)
DAFTAR
PUSTAKA
Djazuli,A. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta. Prenada Media
Group. 2010.
Rohayana, Dedi Ade. Ilmu Qawa’di Fiqhiyyah. Jakarta.
Gaya Media Pratama.2008.
Tamrin, Dahlan. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Malang.
UIN-MALIKI PRESS.2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar