Sabtu, 29 Oktober 2016

AL-YAQIINUU LAA YUDZAALU BISH SHAKKI



BAB I
PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah. Dalam pembahasan ini pemakalah akan mencoba untuk membahas cabang-cabang kaidah Alyaqin La Yazulu Bisyakki. Menurut hemat penulis, bahwa kaidah ini sangat penting untuk dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan asy-syakk
Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa kepada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, termasuk didalamnya adalah aqidah dan ibadah
b.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian kaidah Al-Yaqiinuu laa yudzaalu bish shakki?
2.      Apa dalil kaidah Al-Yaqiinuu laa yudzaalu bish shakki?
3.      Bagaimana contoh penerapan macam-macam kaidah Al-Yaqiinuu laa yudzaalu bish shakk?

c.       Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian kaidah Al-Yaqiinuu laa yudzaalu bish shakki.
2.      Untuk mengetahui  dalil kaidah Al-Yaqiinuu laa yudzaalu bish shakki.
3.      Untuk mengetahui contoh penerapan macam-macam kaidah Al-Yaqiinuu laa yudzaalu bish shakk.





BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
Artinya: sesuatu yang sudah yakin tidak akan dapat dihilangkan dengan keragu-raguan.
 Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak. Al-Yaqin menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan Asy-Syakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.
Secara etimologis, yakin adalah sebuah ilmu (pengertahuan) yang tidak ada lagi keraguan. Pada asalnya, yakin berarti al-istiqrar (sesuatu yang menetap), seperti kalimat yaqin al-mau fi haudi:iza istaqrara (air menetap ditelaga). Kata yaqin dalam kalimat ini artinya menetap. Menurut ibnu Manzur (w.711 H) dalam kamusnya Lisan al-Arab, yakin adalah sebuah ilmu (pengetahuan), sesuatu yang dapat menjauhkan keraguan, dan sesuatu yang nyata(realistis);yakin kebalikan dari syakk, dan syakk lawanya yakin. Menurut jauhari, yakin adalah sebuah ilmu pengetahuan dan hilangnya keraguan.
a.       Secara terminologis, yakin adalah keyakinan yang pasti, kokoh/teguh, dan sesuai dengan kenyataan realistis. Definisi ini mengemukakan tiga indicator yakin, yaitu pasti(al-jazim), kokoh/teguh(al-stabit0 dan sesuai dengan kenyataan/realistis (al-mutabiq lil waqi). Indikator pertama yaitu kepastian(al-jazim), dapat mengeluarkan sesuatu yang masih dugaan kuat (zann atau galabah al-zann). Sesuatu yang masih dugaan kuat(zann) tidak masuk kategori yakin. Indikator kedua, yaitu kekokohan/keteguhan(al-tsabit), dapat mengeluarkan I’tiqad (keyakinan) seorang yang taklid (muqallid)terhadap kebenaran. Hal ini karena I’tiqad(keyakinan) seorang yang taklid (muqallid) tidak berdasarkan kepada argumentasi, sehingga rentan untuk hilang atau berubah. Dengan demikian, kondisi seperti itu tidak layak disebut yakin. Indikator ketiga, yaitu sesuai dengan kenyataan(realitas), dapat mengeluarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan, yaitu al-jahl(ketidaktahuan).[1] Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
Maksudnya dari pengertian tersebut ialah semua hukum yang sudah berlandaskan pada suatu keyakinan itu, tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan, tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada suatu obyek yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah tercapai pada kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau baru sekedar dugaan kuat (asumtif/dzan). Maka yang tidak dianggap suatu kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada saat pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukan kedalam kategori yakin. Hal-hal yang masih dalam keragauan atau masih menjadi tanda Tanya tidak dapat disejajarkan dengan suatu yang sudah diyakinkan.[2] 
B.     Dalil Kaidah  الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
وَمَا يَتَّبِعُ أَكۡثَرُهُمۡ إِلَّا ظَنًّاۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيۡ‍ًٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمُۢ بِمَا يَفۡعَلُونَ ٣٦
36. Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا, فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ, أَمْ لَا? فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا, أَوْ يَجِدَ رِيحًا أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mendapati ada terasa sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu apakah keluar sesuatu ataukah tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” Diriwayatkan oleh Muslim. (HR. Muslim no. 362).

C.    Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak Beserta Contoh Penerapannya
Dari kaidah Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak diatas kemudian dibagi menjadi kaidah-kaidah cabangnya yakni :
. ماَ لَم يَكن ما يغيره  علَى مَاكَانَ الْأصْلُ بَقاءُ مَاكَان (Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal yang merubah) contohnya kewjiban-kewajiban suami istri bisa hilang lagi karena ada perceraian.
Kaidah ini semakna pula dengan مَا ثَبَتَ بِزَمَنِ يُحْكَمُ ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ (Apa yang ditetapkan berdasrkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya)
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti sebelumnya, harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut tidak bisa diubah, selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.[3]
Misalnya: seseorang yang pergi jauh, tidak ada kabar beritanya maka orang tersebut tetap dianggap hidup sampai ada bukti yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal. Dalam hal ini, yang meyakin bahwa waktu pergi dia dalam keadaan hidup, maka sekarang pun masih dianggap hidup. Oleh karena itu, harta warisan tidak boleh dibagikan dahulu. Istri yang ditinggalkan masih tetap dianggap sebagai istrinya. Artinya masih berhak terhadap nafkah dan hak-hak lainnya sebagai istri.
. لْأَصْلُ بَرَءَةُ الذِمَّةِ (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik hal Allah maupun hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
Misal :
1.      Anak kecil bebas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai ia baligh.
2.      Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai ada bukti adanya akad nikah yang sah.
 الْأَصْلُ الْعَدَمُ (Hukum asal adalah ketiadaan)
Kaidah ini dapat lebih jelas dengan kaidah
الْأَصْلُ فِي الصِّفَاتِ الْعأرِضَةِ الْعَدَمُ (hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada)
Misal :Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat iti tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual.
3.      الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَب الزَّمَأنِ (Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)
4.      Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi juga terdapat الْأَصْلُ إِضَافَةُ الْحا دِثِ إِلَى أقْرَبَ أَوْقَاتِهِ (Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat dengannya) secara substansi sama saja.
Apabila terjadi keraguan karena perbadaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahawa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh. Misal :
Seorang wanita sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalm keadaan hidup dan sehat. Selang bebarapa bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalnya bayi itu tidak disandarkan keapada pemukulan yang terjadi pada waktu yang lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waku paling dekat dengan kemtiannya.
. الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ (Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)
Misal :
Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
Dikalangan madzhab Hanafi ada pula الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْحَظَرُ (Hukum asal segala sesuatu adalah laranganharam)
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqh mu’amalah, sedangkan untuk fiqh ibadah digunakan kaidah:
 الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ (Hukum asal ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya), kaidah ini semakna dengan لَاحُكْمُ لِلْأَفْعَالِ قَبْل وُرُوْدِ الشَّرْعِ (Tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan sampai datangnya syari’ah) dan kaidah الْمَشْكُوْكُ فِي وُجُوْبِهِ لَا يَجِبُ فِعْلُهُ (Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan).
. الْيَقِينُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ (Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan pula) Misal :
Kita berpraduka tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.
Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar utangnya kepada si B, misalnya ada kuitansi yang ditandatangani si B yang menyatakan bahwa hutang A sudah lunas. Maka, si A yang tadinya berhutang, sekarang sudah bebas dari hutangnya.
. أَنْ مَاثَبَتَ بيَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ إِلَّا بيَقِيْنٍ (Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran.Kemudian dalam keadaan thowaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima. Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.
. الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الحَقِيْقَةُ (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
Kaidah tersebut lebih dekat dimasukkan ke dalam kelompok kaidah ushul daripada kaidah fiqh. Alasannya, kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan kaidah-kaidah bahasa berhubungan erat dengan arti yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Misal :
Apabila seseorang berkata:”Saya mau mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Ahmad”. Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu. Demikian pula kata-kata hibah, jual beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lainnya di dalam akad harus diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan arti kiasannya.
 الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ (Hukum asal bersenggama adalah haram)
Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan persetubuhan (senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan persetubuhan dengan perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa menghalalkannya, yakni pernikahan. Misal :
Arfan ragu mengenai sah tidaknya akad nikahnya dengan Ani. Karena Arfan meragukan salah satu dari syarat nikah, maka ia tidak boleh berhubungan badan dengan Ani. Sebab, hukum asal melakukan hubungan badan adalah haram.
Qadhi Abd al-Wahhab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubuingan dengan “Al Yaqin la Yuzal bi al-Syak”, yakni sebagai berikut :
10.
لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ (Tidak dianggap )diakui(, persangkaan yang jelas salahnya)
Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor atau penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pembayarannya dilakukan atas dasar prasangka yang jelas salahnya.
لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ (Tidak diakui adanya waham (kira-kira)
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan dalam wahann, yangs alah itu zatnya. Apabila seseorang meningal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris yang dikira-kir
a.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak (Keyakinan tidak bisa dihapus dengan keraguan) memiliki dua kata dasar yang utama yakni al-Yaqin yang berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan al-Syakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.
Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak Beserta Contoh Penerapannya:

. ماَ لَم يَكن ما يغيره  علَى مَاكَانَ الْأصْلُ بَقاءُ مَاكَان (Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal yang merubah)
. لْأَصْلُ بَرَءَةُ الذِمَّةِ (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
 الْأَصْلُ الْعَدَمُ (Hukum asal adalah ketiadaan)
. الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ (Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)
. الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ (Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)
. الْيَقِينُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ (Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan pula)
. أَنْ مَاثَبَتَ بيَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ إِلَّا بيَقِيْنٍ (Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
. الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الحَقِيْقَةُ (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
. الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ (Hukum asal bersenggama adalah haram)
. لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ (Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya)
. لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ (Tidak diakui adanya waham(kira-kira)












DAFTAR PUSTAKA

Djazuli,A. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta. Prenada Media Group. 2010.
Rohayana, Dedi Ade. Ilmu Qawa’di Fiqhiyyah. Jakarta. Gaya Media Pratama.2008.
Tamrin, Dahlan. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Malang. UIN-MALIKI PRESS.2010.


[1]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008),h. 231-232. 
[2]Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010),h. 75.
[3]A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010),h. 54.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar